#70

8.3K 1.1K 392
                                    

| RavAges, #70 | 2150 words |

SEPERTI KEBANYAKAN anak perempuan yang jarang keluar rumah, saat pertama kali aku naksir pada Ryan—dan cowok itu juga mendekatiku—aku berharap dia mengajakku ke tempat-tempat romantis seperti di film-film percintaan remaja pada umumnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SEPERTI KEBANYAKAN anak perempuan yang jarang keluar rumah, saat pertama kali aku naksir pada Ryan—dan cowok itu juga mendekatiku—aku berharap dia mengajakku ke tempat-tempat romantis seperti di film-film percintaan remaja pada umumnya. Sayangnya, di pertemuan pertama saja, kami mengawalinya dengan uji nyali di bangkai ruko yang nyaris runtuh, ditutup oleh bentakan murka ayahku kemudian. Jadi, aku tidak heran kencan kedua kami terjadi di kandang itik.

Kandang itik petelur itu milik Pak Cao, salah satu tuan tanah di Kompleks 44. Alih-alih makan es krim dan bergandengan tangan di bawah cahaya matahari, kami mengumpulkan telur-telur yang ditempeli kotoran dan bulu unggas.

Kencan ketiga kami berlangsung di istal kuda, menonton Pat—pacar Irene—memandikan dan menyikat bulu-bulu hewan tunggangannya. Yang ini tidak terlalu buruk, Ryan membawaku menunggangi salah satu kuda itu sebelum kami pulang.

Kami lalu ke kebun teh, lahan bekas galian pertambangan, lahan pohon karet, kandang ayam, penggilingan padi ... lama-lama, aku terbiasa dan menikmatinya, tetapi tidak dengan ayah.

Awalnya, ayah marah karena kami selalu berangkat subuh dan pulang senja—karena semua destinasi hiburan itu harus dicapai dengan satu atau dua jam berkendara. Begitu alasan itu tampak habis masa berlakunya, ayah mencari lagi: dia bilang, naik motor dengan Ryan berbahaya karena cowok itu mengendarainya seperti ngajak mati. Berbulan-bulan habis, dan aku masih bersama Ryan, ayah kemudian meng-upgrade alasan murkanya bahwa aku sudah tidak seperti anak manis yang dibesarkannya—hanya karena aku mulai memanjat pohon dan kabur keluar lewat jendela satu kali.

Pada masa-masa itu, ayah belum mengucapkan secara gamblang bahwa dia membenci Ryan, walau wajah dan tingkah lakunya gagal menyembunyikan yang demikian. Lalu, datanglah waktu di mana ayah pun tidak bisa menahannya lagi.

Sedari aku kecil, aku senang memijat kaki ayah supaya dapat uang jajan ekstra. Pijatanku tidak ada tenaganya, dan kurasa yang ayah rasakan hanya seperti digelitiki, tetapi toh ayah senang. Nah, aku berhenti melakukan itu sejak Ryan mengajakku bekerja sungguhan. Walau kami lebih sering bercanda dan mengacau daripada bekerjanya, para tuan tanah itu kaya raya—mereka merogoh dompet seperti mengorek hidung. Dengan upah dari lubang hidung itu saja sudah lebih dari cukup bagiku untuk pensiun dari tukang pijat freelance.

Pagi itu, ayah memberi kode; "Sudah lama sekali Leila tidak memijat kaki atau pundak Ayah," tetapi aku menolak dengan cara yang salah. Setengah bercanda, aku bilang kalau sekarang aku sudah kaya dan tidak butuh recehan ayah lagi. Ayah pun mengesampingkan semua alasan-alasan kecilnya, dan mulai berkata dengan frontal, "Ayah tidak suka dengan bocah bengal itu."

"Dia juga tidak suka Ayah," kataku begitu saja, "tapi, toh, dia bertahan saja. Dia tetap berpura-pura menyukaimu dan tidak mengatakan apa-apa."

Jadilah perang dingin meletus. Selama dua hari, ayah dan aku menganggap satu sama lainnya tidak ada. Ibu jadi terjepit di tengah karena kami menjadikannya perantara untuk komunikasi yang bersifat urgen.

RavAgesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang