#19. Mengapa Lelaki Itu Menghampirinya?

603 90 5
                                    

"Makasih banget, Bu. Makasih banget ..." andai saja Renjun terlalu mendramatisirkan keadaan tatkala dirinya diterima bekerja—sebagai tukang cuci piring di salah satu rumah makan tak jauh dari kediamannya—pasti air mata kebahagiaan akan luruh dengan mudah. Tetapi ini tidak, perempuan itu hanya tersenyum kelewat lebar, yang dibalas senyum tulus seorang wanita—yang Renjun yakini sudah cukup berumur, hanya saja terlihat awet muda—pemilik rumah makan.

Renjun pikir ia akan ditolak mentah-mentah seperti kunjungannya ke beberapa tempat sebelumnya, atau (sempat pula sebenarnya) dia berpikir kali ini akan diterima karena kasihan melihat wanita muda dengan perut besar berjalan diteriknya matahari yang bersinar mencari pekerjaan hingga peluh membuat baju basah. Dan Renjun yakin opsi terakhir itulah alasan Bu Doyie menerimanya.

"Ayo masuk, kebetulan banget rumah makan di cabang ini baru akan buka. Bunda akan kasih tahu kamu di mana kamu harus mencuci piring, serta hal lainnya!"

Senyum Renjun semakin lebar saat mengetahui bahwa bos barunya ini begitulah dermawan. Ibu Doyie—atau Bunda Doy (wanita itu inginnya dipanggil demikian)—menjelaskan dengan ramah, bahkan bagaikan tamu Renjun disediakan minum serta ditawarkan makan. Rumah makan memang belum buka, namun di sekitarnya terdapat orang berjualan, jadi tidak heran jika wanita itu menawarkan makan—yang tentu Renjun tolak dengan tidak enak hati. Renjun datang untuk mencari pekerjaan, bukan berkunjung sehingga dilayani sebegitunya.

"Oh, jadi Adek namanya Dek Humeera." Senyum tak luntur dari wajah wanita di depannya. Juga, Renjun memutuskan memperkenalkan diri sebagai Humeera—karena entah mengapa terlalu ragu dirinya memperkenalkan "Renjun" kepada bos barunya.

"Aduh, ini sudah berapa bulan? Sehat-sehat selalu, ya, Dedek bayinya ..." Renjun tersenyum, suatu rasa aneh ketika tangan Bunda Doy menyentuh perut memberikan sensasi asing yang tak dipungkiri ia suka. Sesaat Renjun terdiam. Memperhatikan serta mendengarkan perkataan yang dilontarkan wanita di depannya mengingatkan Renjun akan sosok ibu yang ia rindukan.

"Li-lima bulan ..." cicit Renjun beberapa saat setelahnya.

Bunda Doy tersenyum, mengusap kepala Renjun dengan sayang. "Kamu yang kuat, ya. Bunda tahu apa yang kamu rasakan, jadi jangan sungkan untuk menceritakan semuanya. Bunda ini gemar membaca buku psikolog, lho, jadi kalau ada apa-apa cerita saja, siapa tahu Bunda bisa bantu, hehe!" Renjun mengangguk, lantas pamit beberapa saat kemudian setelah dia rasa obrolan keduanya telah usai. Besok ia akan datang lagi, tepat pukul delapan rumah makan itu buka, Renjun akan datang di sore harinya menggantikan pekerja lain yang bertugas di pagi hari. Rumah makan bergaya modern dengan berbagai menu inovatif—dari masakan Indonesia yang banyak digemari khalayak banyak hingga masakan lintas negara yang sering didengar seperti tom yam, sushi, hingga steak tersedia di sana. "Rumah Makan Bunda Doyie" namanya.

Benar-benar modern dengan inovatif yang luar biasa, tetapi harga masih dapat dijangkau. Tempat yang cukup luas dengan tambahan dekorasi-dekorasi klasik yang menenangkan, siapa sangka nama kedai ini begitu tak terduga, dengan harga yang sama tak terduganya—bahkan perangai ownernya pun yang sangat mengejutkan.

//

Hari terus berlalu, telah sebulan lebih Renjun menjalani harinya dengan normal. Rasa nyeri di perut kerap kali menyusahkannya, terlebih ketika ia harus bekerja. Beruntung bunda Doyie sangatlah pengertian, dia mengizinkan Renjun dengan mudahnya, yang meski (Renjun) ragu mengiyakan, pada akhirnya Renjun hanya dapat menurut—ia tidak mungkin memperdebatkan hal itu kepada ibu bosnya, 'kan?

Kedai setiap harinya sangatlah ramai. Yang semula hanya ada dua orang yang mencuci piring, kini bertambah satu. Satu orang dari pagi hingga siang, Renjun mendapatkan bagian dari pukul dua belas hingga pukul lima, sedang yang satunya lagi dari pukul lima hingga pukul sepuluh. Bunda Doy sangatlah dermawan. Wanita itu tidak mempekerjakan remaja yang baru lulus sekolah di bagian mencuci piring—kecuali Renjun, karena Bunda melihat kondisi perempuan itu—melainkan wanita yang sepantarannya; ibu rumah tangga yang membutuhkan uang lebih karena jika hanya mengharapkan uang dari penghasilan sang suami tidaklah seberapa. Bahkan setiap pulang bunda memberikan satu persatu pegawainya bingkisan—terkadang makanan atau sembako—tak terkecuali. Tidak hanya itu, untuk menjadi pelayan ialah seseorang yang (minimal) memiliki ijazah SMA. Benar-benar memanfaatkan SDM yang ada.

Bagaimana dengan juru masak? Oh, tentu Bunda tidak akan asal pilih. Juru masak berpengalaman dipilihnya, atau anak muda yang memang pandai meracik kopi pun dipilih—tentu untuk bagian meracik kopi, serta kasir. Tidak hanya bangunan yang cantiknya totalitas, pelayanan yang diberikan tidaklah kalah totalitasnya.

Bunda Doy memang patut dicontoh!

"Kemarin Kakak nganterin sepupu Kakak beli perlengkapan bayi—kandungannya sudah berusia tujuh bulan—dan lihat! Bukankah ini lucu? Ambillah, untuk anakmu kalau sudah besar nanti."

Renjun tersenyum. Mengambil jepitan rambut berwarna merah muda yang baru saja diberikan Kun; juru masak yang masihlah muda—hanya beda beberapa tahun dari Renjun, namun mampu membuat makanan tak kalah lezat seperti juru masak kelas atas.

"Kamu sudah enam bulan, 'kan? Wah, gak kerasa, ya, sebentar lagi aku punya keponakan!" Windy—atau biasa pula dipanggil Winwin—mengusap penuh kasih sayang perut Renjun yang kian membesar. Perempuan itu sangatlah gemas dengan perut Renjun yang kian membesar, belum lagi pipi sang empu yang semakin tembam selalu mampu membuat Winwin gemas sendiri.

Renjun benar-benar menggemaskan dengan tubuh besar dan pipi tembamnya!

"Gue rasa si cantik ini gak bakalan mau." Timpal Kun sembari menggelengkan kepalanya.

"Siapa yang cantik?!" pekik Winwin; wanita berumur 23 tahun yang sedang pusing-pusingnya dengan perkuliahan, namun harus tetap mencari uang untuk membantu kedua orang tuanya membayar kuliah; juga wanita yang belakangan ini diam-diam menyukai si juru masak muda alias Kun.

"Galak banget!" Kun bergidik. "Calon Dedek Bayinyalah! Memangnya siapa lagi?" tersenyum, Kun terlihat tengah menjahili Winwin yang kini tampak salah tingkah.

"Eng-enggak tahu!" terlampau tersipu, Winwin pun melenggang pergi tanpa pamit, masuk ke dalam ruangan khusus karyawan.

"Haha! Cute." Gumam Kun yang masih dapat didengar Renjun.

"Cie, kayaknya ada yang lagi jatuh cinta, nih!" ledek Renjun.

Kun merona, jadi salah tingkah sendiri. "Apaan! Siapa?!" ujarnya cepat yang hanya diberikan tanggapan tawa lepas Renjun.

Kring!

Bunyi lonceng di atas pintu terdengar menandakan kedatangan pelanggan lainnya. Kun segera kembali ke dapur, sedang Renjun memilih untuk duduk mengistirahatkan dirinya yang mulai merasakan lelah terlalu lama berdiri guna mencuci piring yang tidak sedikit jumlahnya. Piring kotor telah usai dia bersihkan semua, dan kini dia hanya perlu menunggu penggantinya untuk mencuci piring. Jam kerjanya telah usai lima belas menit lalu, namun enggan rasanya Renjun kembali ke rumah. Dia ingin tetap di sana—setidaknya setengah jam lagi—untuk mengistirahatkan diri sembari menyesap coklat panas sebelum pulang (yang tentu dengan berjalan kaki) ke rumahnya.

"Renjun?"

Coklat yang sudah tidak lagi panas baru saja akan disesapnya kembali jika saja suara seseorang yang terdengar tidak asing, tidak menyapanya. Cangkir di tangannya masih menggantung di udara, enggan rasanya leher sekadar untuk berputar barang beberapa senti. Tubuhnya membatu, Renjun tampak terkejut saat seseorang yang menyapanya kini duduk tepat di hadapannya.

Figonata Lucas Jayachandra. Lelaki itulah suara di balik seseorang yang menyapa Renjun. Lelaki berkacamata bulat tampak santai—namun ada binar mata yang samar terlihat di kedua bola mata bulatnya—duduk di hadapan Renjun. Dalam hati Renjun meringis, mengapa pula dari sekian banyak rumah makan, Lucas harus mengunjungi rumah makan Bunda Doyie? Bukankah itu kebetulan yang benar-benar sangat kebetulan?

Sebenarnya ... Renjun ingin menghindar dari semua kenangan di masa lalu, termasuk orang-orang yang pernah menjadi bagian dari masa lalunya.

Ya, termasuk Lucas. Meskipun lelaki itu tidak banyak mengambil peran di dalam fragmen memori masa lalu Renjun, tetapi tetap saja, bukan, Lucas pernah berada di dalamnya? Ya, tentunya.

"Bagaimana kabarmu?" itulah pertanyaan basa-basi Lucas mengawali percakapan yang sepertinya akan panjang ujungnya.

—To Be Continued—

Masih ada yang nunggu 'kan? Sori banget udah Lama enggak update. Kuusahakan hari ini zkake juga update, ya ╥﹏╥

Monster Pembimbing ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang