#11. Nectar

680 93 29
                                    

Sudah dua hari Renjun tidak berangkat ke sekolah, dua hari itu pula Renjun terdiam di rumah yang menyimpan banyak kenangan. Tidak ada yang datang ke rumah Renjun setelah pemakaman kedua orang tuanya. Benar-benar tidak ada yang datang—atau memang tidak ada yang peduli dengan gadis itu. Sungguh miris memang, Renjun tidak menyangka akan kehilangan segalanya. Beruntung masih ada tempat bernaung untuk dirinya. Namun, bagaimana dengan kehidupan ke depannya? Apa yang harus Renjun lakukan untuk melanjutkan hidupnya? Gadis itu tidak pernah tinggal sendiri, maka sat keheningan melanda kediamannya, terasa asing bagi Renjun. Tidak, gadis itu tidak takut sendirian, dia hanya merasa ... kesepian? Benar, siapa pula orang yang biasanya selalu bersama kini tinggallah seorang diri akan merasa baik-baik saja. Tidak ada, belum lagi jika nanti dirinya masuk sekolah, tak dapat dibayangkan bagaimana tatapan murid lain kepadanya.

Skenario buruk sudah terbayang di otaknya. Dan bukankah seharusnya dia tidak perlu terlalu mencemaskannya? Jelas, dia sudah dapat membayangkan, dan oleh sebab itu seharusnya dirinya dapat menimalisir agar bayangan buruk itu tidak benar-benar menyakitinya.

"Ya, kamu harus kuat, Humeera!"

Setelah mengatakan itu, Renjun menghela napas. Tali ranselnya digenggam, persis seperti anak tk yang takut untuk berangkat ke sekolah, namun dia harus tetap berangkat. Entah kenapa rasanya kala ini sangatlah menakutkan, padahal kala pertama kali akan masuk SMA Renjun sangatlah bersemangat.

"Ow, ow, ow ... si Badut sirkus masih ada nyawa toh dateng ke sekolah. Gue kira dia bakalan pergi ke tempat karnaval lain, hahaha!"

Ini, untuk pertama kali Keoun dan teman-temannya merundungi Renjun. Ketiga orang itu (Keoun, Lami, dan Hina) tahu perihal Renjun yang dipermalukan, dan jelas mereka cukup tertarik untuk turut menjahili teman sekelasnya itu.

"Ke mana aja lo dua hari gak masuk? Malu, ya, udah didandanin jadi badut?" ejekan Lami berikan. Renjun yang masih dalam suasana hati yang berkabut hanya dapat menggigit bibirnya bawahnya. Padangannya lurus ke bawah, menatap lantai yang dipinjakinya.

"Sombong amat! Orang ngomong tuh diliat mukanya, jangan liatin sepatu doang! Lo kira muka kita ada di bawah, hah?!" Hina menoyor kepala Renjun. Sedari awal masuk sekolah, entah kenapa perempuan itu sangat tidak menyukai atensi teman sekelasnya itu. Renjun yang disukai banyak guru membuat Hina iri—atau entahlah. Yang pasti dia tidak menyukai Renjun.

"Oh, jangan-jangan lo mau sepatu baru gue ini, ya? Aduh, sayangnya orang miskin kayak lo gak bakal deh mampu beli. Daripada sekolah, mending lo balik gih sana, cari duit jadi badut di prapatan, biar kayak boneka mampang! Hahaha!" Lami tertawa dengan puas setelah mengatakan hal tersebut.

Mendengar perkataan itu sontak Renjun terkejut. Bagaimana bisa Lami dengan enteng mengatakannya orang miskin dan tak mampu membeli sepasang sepatu? Renjun tidak pernah mengingat dia pernah mengatakan perihal pekerjaan orang tuanya, bahkan Renjun tidak pernah mengingat pernah berbicara dengan tiga orang di depannya ini.

"Bapak lo si OB itu baru meninggal, 'kan? Asal lo tau, perusahaan tempat kerja mereka itu punya Kakek gue, sedangkan Bapak gue sebagai direktur di sana. Jadi gak usah bingung deh kenapa kita bisa tau kalo elo itu sebenarnya 'miskin'!" setelah mengatakannya, Keoun dan Lami tertawa, lalu meninggalkan Renjun—dengan tidak lupa menoyor kepala gadis itu—dan pergi begitu saja tanpa mempedulikan Renjun yang tengah sekuat tenaga menahan air matanya.

Bibir Renjun bergetar. Dia tahu papanya hanyalah seorang ofice boy, tapi bukankah seharusnya mereka tidak mengatakan hal demikian? Lagi pula meskipun papa Renjun seorang OB, dulunya beliau sempat membuka usaha kecil-kecilan, kok. Namun sayangnya bangkrut, dan, ya ... mau bagimana lagi, nasib tidak ada yang tahu, 'kan?

Dan seharusnya mereka tidak mengingatkan tentang kematian kedua orang tuanya. Karena hal itu, awan kelabu membuat Renjun semakin bersedih. Dia menjadi rindu dengan dua sosok yang sangat berarti dalam hidupnya, yang sayangnya telah pergi meninggalkannya terlebih dahulu.

Monster Pembimbing ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang