#34. Surat Lusuh Pemberian Humeera

583 65 2
                                    

"Anda ... siapa?"

Belum sampai mentari menunjukkan eksestensinya lebih banyak, tiba-tiba saja bel apartemennya berbunyi. Jaehyun sampai terlonjak, mengingat memang ia belum tidur sama sekali saat harus mengurus nilai-nilai peserta didiknya yang super banyak. Dua cangkir kopi hitam sudah habis ditegaknya, kepalanya pusing bukan main, ditambah suara bel yang beberapa kali terdengar mengejutkannya.

"Kamu enggak perlu tahu saya siapa. Di sini, saya hanya ingin menyampaikan amanah."

Seorang wanita paruh baya tersenyum. Buntalan yang tertutup kain tebal sekonyong-konyong diserahkan kepada Jaehyun. Tidak serta-merta pria itu terima, tentunya ia masih bingung dengan semuanya.

"Gendonglah. Lihat." Masih dengan senyum yang tak luntur barang sedikit pun.

Jaehyun menggulurkan tangannya, mengambil alih sesuatu dari dekapan wanita di depannya. Dahi pria itu mengeryit tatkala mata bulatnya melihat penampakan gadis lucu di balik gumpalan kain yang begitu tebal.

"Jirra. Dia anakmu."

Jaehyun menegang. Secara perlahan pandangannya dialihkan menatap sosok paruh baya di depannya. "Maaf?" tanyanya.

"Kamu enggak mungkin lupa nama pemberianmu sendiri, bukan?" mimik wajah si pembicara begitu kentara seriusnya. Namun, Jaehyun tahu ada campuran rasa lainnya yang terpancar dari mata bulat di depannya. Kecewa, sedih, marah, begitu banyak ekspresi yang ditunjukkan hanya dari pancaran mata wanita di depannya.

"Mungkin, sudah cukup Renjun menjaga Jirra selama 8 bulan di kandungan. Kini, tugasmu yang merawatnya hingga ia mampu tumbuh dan hidup secara mandiri."

"Kamu Jaehyun, 'kan? Saya ... ah, panggil saja, Bunda—seperti orang lain panggil saya demikian."

Setetes air mata jatuh dari pelupuk mata Bunda. "Renjun sudah melepaskan tanggung jawabnya. Renjun kata, kamu harus bisa benar-benar merawatnya. Perlakukan Jirra seperti 'manusia', seperti anak yang memang kamu tunggu kehadirannya. Beri kasih sayang yang berlimpah, itu lebih dibutuhkan anak-anak daripada harta yang bergelimang."

"Ingin rasanya Bunda saja yang merawat Jirra, tapi Renjun tidak mengizinkan. Renjun masih memikirkan ke depannya, Renjun masih memikirkan—bagaimana jika anaknya tumbuh nanti, ia menanyakan Papa-nya, di saat teman sepantarannya bisa bermain di taman bersama Papa, dijemput sekolah bersama Papa, selalu bersama Papa."

"Renjun benar-benar masih peduli denganmu. Ia tahu, kamu memikirkan Jirra. Entah hanya Jirra atau kondisinya juga."

"Jaehyun, meskipun Bunda belum terlalu lama mengenal Renjun, tapi Bunda tahu ... Renjun merupakan sosok malaikat. Dia begitu indah, dan pemurah."

"Kedepannya, kamu janganlah mengulang hal yang sama. Perlakukan Jirra penuh dengan kasih sayang, cintai dia meski kamu sempat menganggapnya hanyalah sebuah kesalahan."

"Ini—" tangan Bunda Doy terulur, memberikan secarik surat di dalam amplop berwarna putih. "Bunda sudah merawatnya hingga Jirra yang prematur bisa dibawa pulang ke rumah. Kini, Bunda serahkan tanggung jawab menjaga Jirra sepenuhnya kepadamu."

"Jaehyun, ketahuilah ... Renjun menyayangimu."

Kau tahu rasanya diserang dengan berjuta kata dalam satu waktu? Perkataan yang terlontar memang memiliki tempo, tidak asal nyerocos. Tetapi, apakah kau akan baik-baik saja mendengarkan untaian kata yang begitu memilukan, sulit dicerna akal?

Masih di tempat yang sama, Jaehyun berdiri mematung bersama "anak" di dekapannya. Sudah beberapa menit yang lalu sosok yang dipanggil "Bunda" menghilang dari jejak mata. Kesadaran Jaehyun belum utuh sepenuhnya, ia masih begitu linglung mencerna semua perkataan wanita paruh baya barusan. Terlebih, melihat sosok gadis kecil di dekapannya, entah mengapa air mata sekonyong-konyong luruh begitu saja.

Monster Pembimbing ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang