#03. Harus Lebih Kuat

1K 141 10
                                    

Pagi ini, seperti biasanya Renjun berjalan seorang diri menuju halte. Menunggu kurang lebih lima menit sampai bus tujuannya tiba. Jarak sekolah dari rumah hanya selisih tiga halte. Kurang lebih, lima belas menit Renjun menghabiskan waktu menuju sekolah. Itu juga kalau tidak macet. Ya, kalau demikian, tentunya akan sedikit terlambat. Berupaya mengurangi resiko kemacetan, Renjun berangkat lebih awal. Sesampainya di sekolah kurang lebih pukul tujuh kurang sepuluh, pertanda masih ada waktu sepuluh menit sebelum bel masuk berbunyi.

Bandung memang tidak sepadat kota Jakarta yang jika Renjun lihat di televisi, selalu saja deretan motor dan mobil memenuhi jalanan. Namun, Bandung bisa jadi macet juga saat di hari-hari tertentu, seperti sekarang ini. Hari senin yang di mana banyak orang memulai awal minggunya dengan kepadatan. Renjun tidak benar-benar tinggal di tengah kota, tetapi kemacetan memang sulit terpisah dari Ibu Kota di Indonesia.

Perut Renjun berbunyi. Perempuan itu tidak sempat membuat sarapan ala kadarnya seperti biasa. Kali ini dia telat bangun setelah seharian lelah bekerja di kafe, belum lagi belajar ekstra hingga larut malam karena minggu ini pekan ujian.

Lelah fisik dan pikiran, jangan lupakan lelah hati pula, membuat berat badan Renjun berkurang banyak. Mungkin sekitar 5 kilogram, karena dia rasa dari terakhir kali dia timbang, tubuhnya menjadi lebih ringan. Sebenarnya itu hanyalah hiperbola semata. Tidak apa, sekali-sekali Renjun melucu untuk dirinya sendiri. Terlalu lelah menjadi orang monoton yang hanya menghabiskan waktu yang berputar dengan hal yang sama.

Berkali-kali pula dengan hal yang memalukan.

Pagi ini kota Bandung sedikit mendung. Beruntungnya Renjun sampai di sekolah sebelum benar-benar rinai menuruni bumi dan berakhir sangat deras. Selama berjalan menuju kelas, Renjun terus menunduk, tak berani bertatapan langsung dengan tatapan-tatapan murid lain yang seakan siap menelanjanginya. Menatapnya dengan berbagai ekspresi dipancarkan dari pancaran mata mereka.

Jijik, miris, iba, dan kesal.

Semua Renjun dapatkan. Perempuan itu sudah terlalu biasa, namun masih memberikan efek yang sangat berarti bagi mental Renjun. Tangannya tremor, basah oleh keringat pula. Menggenggam erat kepalan tangannya sendiri, terus berjalan menuju kelas dan sebisa mungkin tidak mempedulikan bisikan-bisikan murid lainnya.

"Dia itu lho si Kampungan."

"Oh, dia yang pelakor itu?"

"Temennya Om-om sih katanya."

"Heran, deh. Jelek kayak gitu, masa ada yang mau jadiin dia sugar baby?"

Dan bisikan-bisikan lainnya, yang rasanya Renjun ingin sekali menyumpal mulut mereka semua dengan kaos kaki miliknya.

"Kamu, ikut Bapak ke ruangan." Lebih mengejutkan lagi tiba-tiba seorang guru muda menghampirinya, mengatakan harus ikut ke ruangan guru tersebut, bahkan dengan wajah super dingin andalannya.

Jantung Renjun bedegup dengan cepat. Bisikan-bisikan yang semakin menjadi tak dihiraukannya. Kakinya terus melangkah walau ragu mengikuti guru muda di depannya. Guru baru yang pernah menyelamatkannya dari gerombolan kakak kelas atau mungkin kemarin hanya kebetulan saja.

Renjun tidak seharusnya percaya secepat itu dengan orang baru, karena yang Renjun tahu ... manusia dapat lebih menyeramkan daripada iblis sekali pun.

"Duduk."

Mengikuti perintah, perempuan itu duduk di bangku yang tersedia. Berhadapan dengan guru asing sangat menggangu, ditambah suasana ruangan yang cukup sepi dikarenakan tidak banyak orang di dalamnya. Hanya ada beberapa guru yang Renjun tak kenal pula.

Tiga menit, lima menit, bahkan hingga tujuh menit, guru baru di depannya masih sibuk dengan kertas-kertas di mejanya. Membolak-balikkan kertas seakan Renjun tidak ada di depannya, ia tak hiraukan atensinya. Padahal, guru itu yang membawanya, lantas ada apa? Jantung Renjun semakin membuncah. Pikiran negatif mulai berkeliaran di otaknya.

Monster Pembimbing ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang