#22. Pentingnya Edukasi Parenting

511 70 0
                                    

Hari-hari Haechan berjalan sesuai harapannya. Sekolahnya tidak terlalu buruk, bahkan sangat menyenangkan! Haechan memiliki banyak teman karena sifatnya yang ceria. Dari teman seangkatan hingga kakak kelas dua belas. Banyak rumor mengatakan perundungan di sekolahnya yang ditempuh kini kian terjadi, dan Haechan tidak menampik karena itu bukanlah sekadar rumor semata. Pernah Haechan melihat kakak kelas bernama Mina memojokkan teman seangkatannya. Haechan memang tidak membantu, dia masih sayang nyawa, tetapi tidak dipungkiri sepercik rasa iba ada saat melihatnya. Terlebih ia beberapa kali pernah berpapasan dengan siswa yang dirundungi itu pula. Yang lainnya, kakak kelas bernama Junkyu. Merundunggi seseorang yang sepertinya memang sudah di klaim sebagai pengikut—pesuruh—nya. Sebenarnya masih banyak lagi, akan tetapi agaknya memalukan jika Haechan menceritakan semuanya. Lagi pula itu tidaklah satu dua orang, melainkan cukup banyak.

Keseharian Haechan masih sama seperti biasanya; sekolah, pulang ke rumah, belajar, lalu keesokannya kembali ke sekolah. Meskipun perempun itu sudah memiliki banyak teman, jika teman-temannya mengajak untuk pergi jalan-jalan, Haechan selalu menolak dengan dalih ia malas berpergian. Tetapi pada nyatanya tidak demikian, karena perempuan itu memiliki alasan yang lebih masuk akal daripada kata "malas" yang kerap kali ia lontarkan—sebab di kamus besar miliknya kata "malas" hanyalah untuk orang-orang yang tidak ingin berkembang. Orang yang tujuan hidupnya cukup sampai di titik jenuh tanpa menyadari ada peluang besar menuju kesuksesan dengan menghilangkan kata "malas" menjadi "berusaha keras". Tetapi lagi-lagi alibi yang Haechan berikan dengan menggunakan kata terlarang "malas" ia rasa bukanlah masalah besar, mengingat "bermain-main" atau "berpergian" yang mereka lakukan hanyalah untuk kesenangan semata, lebih tepatnya menghabiskan waktu secara sia-sia.

Sekiranya itulah yang ibunya selalu ajarkan. Setelah pulang sekolah perempuan berkulit sawo matang itu harus segera kembali ke rumah jika tidak ingin ibunya marah. Pulang sekolah pukul tiga, tepat pukul tiga lewat tiga puluh menit Haechan sudah harus kembali berangkat menuju tempat les; senin dan rabu matematika, selasa kimia, serta kamis dan jumat fisika. Sebenarnya les yang diikutinya dimulai dari pukul empat, hanya saja jaraknya yang cukup memakan waktu mengharuskan perempuan itu datang setengah jam sebelum jam yang telah ditetapkan. Ketiga les yang diikuti itu memakan waktu dua jam lamanya. Belum lagi di hari sabtu Haechan diharuskan les bahasa Inggris dan Jerman, yang masing-masing menghabiskan waktu satu setengah jam. Untuk les bahasa Inggris tentunya karena bahasa tersebut sudah menjadi bahasa internasional, Haechan diwajibkan menguasainya oleh kedua orang tuanya, sedang untuk bahasa Jerman Haechan diwajibkan mempelajarinya karena sang ayah memang keturunan negara yang kerap dijuluki negara romantis alias Jerman. Tak main, sebab kakek dan nenek dari pihak ayah Haechan memang tinggal dan menetap di sana, lebih tepatnya di kota Jena.

Hari minggu, jangan harap Haechan akan benar-benar bisa bernapas lega—leha-leha, bermalas-malasan seperti remaja Indonesia pada umumnya. Tidak, bahkan untuk sekadar menonton serial film di televisi saja Haechan sudah memiliki waktunya tersendiri. Per hari, tidak lebih dari tiga jam perempuan itu boleh menonton televisi. Bahkan untuk bermain ponsel genggam saja dua jam waktu yang sudah ditetapkan untuk menonton televisi juga merupakan waktu untuk bermain telepon genggam. Lebih tepatnya dalam sehari Haechan diperbolehkan main ponsel dan juga nonton tv ialah tiga jam, tidak boleh lebih, jika kurang justru sangatlah bagus.

Lalu, bagaimana dengan sisa waktu tiap harinya? Oh, tentunya harus Haechan habiskan dengan belajar, belajar, dan belajar. Memiliki ayah seorang pengusaha sukses dengan ibu seorang dosen di salah satu universitas swasta, mengharuskan Haechan kelak menjadi seseorang yang cerdas dan maju ke depannya. Pendidikan nomor satu, maka tak heran saat seseorang memasuki ruang keluarga perempuan itu akan ditemukan banyak sekali buku yang berjejer rapi di rak-rak yang jumlahnya tidaklah bisa dibilang sedikit. Buku berbahasa Indonesia, Inggris, bahkan Jerman, dan Prancis pun benyak dijumpai di sana. Buku bahasa Prancis merupakan milik Haechan dan Ibunya. Kedua perempuan itu memang menyukai bahasa negeri sana, dan tentunya menguasainya—meskipun Haechan tidaklah sepandai ibunya. Haechan bersyukur, untuk bahasa Prancis dirinya tidak diwajibkan harus menguasainya.

Monster Pembimbing ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang