Aku tidak pernah tega melihat sesama perempuan berjalan dengan lesuh, apalagi perut buncit yang selalu dibawa ke mana-mana. Tidak akan pernah tega, karena selalu mengingatkan pada diriku sendiri beberapa tahun silam. Beberapa tahun itu—sebenarnya sudah cukup lama.
Di balik kaca rumah makan yang baru saja kurintis di daerah Bandung, yang letaknya bukanlah di Ibu Kota-nya, aku dapat melihat sosok remaja berjalan dengan lesu. Saat mata bulat remaja itu menatap rumah makanku, binar bahagia tiba-tiba saja terlihat. Aku masih tidak bergeming, ingin melihat sejauh mana binar itu bertahan. Hingga akhirnya ia berjalan mendekat, menyapa salah satu karyawan.
"Misi ... ngg, anu—sepertinya rumah makan ini baru di buka, ya? Saya sedang mencari lowongan pekerjaan, kira-kira di sini ada tidak, ya?"
Di dalam hati, saya tertawa. Sangat paham betul remaja itu baru pertama kali mencari pekerjaan. Ucapannya begitu canggung, tidak seperti pelamar pada umumnya.
"Eh?" Salah satu karyawanku mengalihkan atensi. Alat pembersih lantai ia abaikan sementara, beralih kepada remaja di depannya. "Em," Kun, nama karyawan baruku itu. Pemuda yang duduk di bangku kuliah semester 3 tampak ragu menatap perempuan di depannya. Melihatnya, aku tersenyum.
"Eee-emm, aku tidak tahu apakah ada atau tidak. Tapi tunggu, akan kutanyakan kepada pemilik RM-nya, ya."
Kun berjalan ke arahku. Dengan cepat kualihkan pandangan, tidak ingin mereka tahu bahwa sedari tadi aku memperhatikan.
"Bunda, itu—" Aku tersenyum. "Bunda yang akan berbicara langsung dengannya." Ujarku tanpa mendengarkan lebih perkataan Kun.
Pemuda itu mengangguk ragu, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Kuhampiri remaja perempuan yang baru saja berbicara dengan Kun. Kulihat, remaja itu menundukkan kepalanya, tangannya mengepal.
Remaja itu tengah gugup.
"Hei? Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku basa-basi. Aku hanya ingin tahu lebih dalam mengenai remaja di depanku ini.
"Em ... anu, saya ... saya ingin melamar pekerjaan di sini, apakah ada?" ujarnya dengan gugup. "Ah, pekerjaan apa pun itu, em, ya ... apa pun?"
Aku tersenyum. Perempuan itu terlihat sangat grogi. Meskipun perkataanya tidak terlalu jelas (sebab kegrogiannya), aku tahu pasti apa maksudnya.
"Sebelumnya, apa kamu memiliki pengalaman bekerja?" tanyaku.
Remaja itu menggigit bibir bawahnya, matanya bergerak gusar. "Ti, tidak. Saya tidak pernah." Lesu, ujar perempuan itu dengan lesu.
Aku mengangguk. "Baiklah, mari duduk sebentar. Bunda ingin bertanya-tanya, sekiranya kamu cocok atau tidak bekerja di sini."
Remaja itu mengangguk antusias. Aku pun tersenyum melihatnya. Bahagia yang sederhana, yaitu melihat orang lain bahagia.
//
"Tidak apa-apa, 'kan? Bunda pastikan kamu tidak terlalu berat, ya, kerjanya."
Setelah berbicara ngalor-ngidul, aku pun memberitahu pekerjaan apa yang akan diterima. Karena tidak mungkin anak remaja sepertinya (terlebih dengan perut yang besar) bekerja sebagai pelayan atau kasir, pada akhirnya "tukang cuci piring" kuberikan pekerjaan itu untuknya. Setidaknya tidak terlalu repot mengingat tidak perlu bolak-balik seperti pelayan atau sebagai kasir yang sekaligus membuat kopi. Dengan demikian pula tidak ada yang berspekulasi miring warung makanku memperkerjakan remaja yang tengah mengandung.
"Enggak apa, Bunda. Makasih banget, ya, karena Bunda sudah menerima Renjun di sini. Makasih banget."
Aku mengangguk sembari tersenyum. Kuulurkan tangan kiriku menyentuh surai hitamnya yang panjang. Mengusapnya penuh sayang. "Kamu mengingatkan Bunda dengan anak Bunda," ujarku tiba-tiba.
Tidak serta-merta aku berujar demikian, karena memang aku merindukannya.
"Dulu, Bunda mempunyai anak. Dia tampan, mungkin sekarang umurnya beda beberapa tahun denganmu."
"Anak Bunda sangat pintar, namun dia pemalu. Bunda tidak pernah menemukannya bermain dengan anak sepantarannya."
"Anak Bunda hanya bermain seorang diri di halaman rumah, walau pada nyatanya banyak anak-anak berlalu-lalang, bermain kejar-kejaran."
"Dia tidak pernah ikut bermain. Ia hanya bermain dengan robot dan boneka kelincinya. Dia ... benar-benar pendiam."
Mengingat kenangan lama membuat air di pelupuk mata kian banyak. Tangan remaja di depanku, aku genggam dengan erat. Tangan bebasnya yang lain turut menggenggak balik, berupaya menguatkanku. Aku pun tersenyum dibuatnya.
"Tetapi ... itu sudah lama. Sekitar dua puluh tahun yang lalu." Air mata sekonyong-konyong keluar tanpa dipinta. "Bunda tidak bisa menemani perkembangannya. Bahkan Bunda tidak bisa menemaninya bersekolah untuk pertama kalinya."
Kali ini bukan lagi aku yang menenangkan Renjun, melainkan dialah yang menenangkanku. Mengusap punggungku dengan gurat wajah khawatir.
"Yang Bunda ingat hanya namanya. Selebihnya, Bunda tidak ingat. Bahkan Bunda lupa tanggal lahirnya."
"Bunda ..." Renjun memelukku. Setidaknya, aku bisa lebih tenang sebabnya berperilaku demikian.
"Bunda ... hhhh ... Bunda rindu dengannya, Renjun ...." aku menangis. Beruntung kutelah memilih tempat di pojok ruang, jadi kecil kemungkinan orang-orang memperhatikan.
"Bunda ingin melihatnya. Bunda ingin merasakan sentuhannya, pelukannya, Bunda ingin memberikan kasih sayang Bunda yang sempat ia rasakan hanya sesaat. Bunda ..." aku terisak. Suaraku tercekat saat ingin melanjutkan perkataan.
"Ssshh, Bunda ... Bunda jangan sedih. Anak Bunda pasti ikutan sedih jikalau melihat Bundanya seperti ini."
Semakin kueratkan pelukan, kumenangis di bahu seseorang yang baru kukenal beberapa saat lalu. Lucu bukan, setelah sebelumnya remaja di depanku yang kupeluk berupaya menenangkannya saat ia menceritakan sepenggal kisah mengenainya, kini akulah yang berada di pelukannya. Menangis, dan ditenangkan olehnya.
"Renjun ... Bunda, Ibu yang buruk, ya?" tanyaku yang entah mengapa pertanyaan itu terlintas begitu saja.
Remaja di depanku melepaskan pelukannya dengan tiba-tiba. Matanya membulat, gurat wajahnya menampilkan ketidaksetujuan. Lalu, kepalanya digelengkan dengan cepat. "Enggak. Meskipun Renjun baru bertemu Bunda hari ini, baru mengenal Bunda beberapa jam lalu, Renjun yakin Bunda bukan Ibu yang buruk. Bunda jangan ngomong begitu ... jika anak Bunda tahu, beliau pasti tidak senang mendengarnya, Bunda ...."
Kuhela napasku. Tersenyum, kuusap kembali surai remaja di depanku. "Makasih. Makasih Renjun sudah mau mendengarkan kisah Bunda. Makasih juga Renjun sudah meyakinkan Bunda. Makasih Renjun—"
"Tidak, Bunda. Bunda tidak perlu mengucapkan banyak terima kasih. Di sini, seharusnya Renjun-lah yang mengucapkan itu. Makasih karena Bunda sudah menjadi wanita kuat. Makasih juga karena Bunda sudah berbaik hati menerima Renjun; sebagai orang yang Bunda percayakan untuk bercerita, juga telah menerima Renjun di rumah makan rintisan Bunda. Makasih Bunda ...."
Remaja itu memelukku. Astaga, lagi-lagi air mataku luruh begitu saja. Remaja di pelukanku begitu menggemaskan, pun baik hati. Meskipun anakku seorang lelaki, sedang remaja yang berada di dekapanku seorang perempuan, dengan kehadiran Renjun begitu terasa anakkulah yang memelukku. Umur yang kuyakin tidak terlalu jauh, pastilah sebab mengapa aku merasakan demikian.
"Sekarang Bunda jangan sedih lagi. Bunda punya Renjun, Bunda juga punya orang-orang di sekitar Bunda yang sayang sama Bunda. Bunda tidak pernah sendirian, kita pasti akan selalu ada untuk Bunda ...."
Pelukannya sudah terlepas. Aku tersenyum menatapnya. "Kamu anak yang baik Renjun. Sungguh akan menyesal bagi mereka yang sudah menyakitimu."
"Oh, iya. Renjun, anak Bunda bernama Taeyong Mahardika."
-To Be Continued-
Tidak ada spongebob, patrick pun jadi.
Tidak ada selendang mayang, cendol pun jadi.
Tidak ada ada es goyang, es kado pun jadi.Tidak jadi Jaehyun, Taeyong pun jadi. 🤡🤒🤡🤕🤡
KAMU SEDANG MEMBACA
Monster Pembimbing ☑️
RandomGrizelle Renjun Humeera, remaja kelas dua sekolah menengah atas merupakan salah satu cewek termalang yang pernah Figonata Lucas Jayachandra kenal, kendati demikian seorang Lucas tidak akan pernah peduli dengan sekitar, termasuk kepada cewek satu itu...