#24. Maaf, Renjun

597 78 1
                                    

"Sialan lo!" Haechan yang mulai terpancing emosi menjambak rambut Renjun sekuat tenaga. Renjun yang diperlakukan demikian hanya dapat meringis sembari meminta ampun dilepaskan jambakannya.

Sore ini, seseorang menghampiri Haechan. Memberikan sebuah video bukti dari kedekatan Renjun dengan kekasihnya, Jeno. Benar, Jeno telah menjadi kekasih perempuan itu. Dua minggu lalu, pemuda yang menyandang sebagai sahabat, menyatakan cintanya. Menggantikan status persahabatan menjadi resmi sebagai kekasihnya. Di pertengahan kelas sebelas, pantas saja Jeno bertingkah beda. Pemuda itu menjadi lebih perhatian-padanya, dan juga Renjun. Haechan tidak pernah mengira bahwa Jeno menyukainya, mengingat, ia rasa pemuda itu menjadi lebih perhatian tidak kepadanya saja, melainkan kepada Renjun juga. Dan alangkah terkejutnya, tepat setelah pulang sekolah, Jeno yang mengajaknya nongkrong di kafe tempat biasa-lagi-lagi bersama Renjun tentunya sebagaimana sahabatnya-tak terduga menyatakan cintanya. Haechan yang bingung, berbeda dengan Renjun yang tersenyum bahagia sembari mengatakan "terima" dengan ceria. Jeno yang perasaannya tidak karuan takut cintanya ditolak, hanya bisa merapalkan doa di dalam hati, meminta agar patah hatinya kelak tidak akan bertahan lama dan tidak akan merusak persahabatan mereka.

Dan siapa sangka, Haechan menerimanya. Perhatian yang diberikan Jeno rupanya membuat perempuan itu sedikit goyah. Dibawa perasaan atau baper, karena afeksi lebih Jeno untuknya-walaupun perempuan itu tahu, pemuda itu memberikan hal yang sama kepada Renjun. Namun setidaknya Haechan bersyukur, tidak hanya dirinya yang memiliki rasa kepada Jeno, melainkan pemuda itu pun sama. Cinta yang baru bersemi pun terbalas, tanpa diduganya.

Namun ... semua berubah. Kedekatan Jeno dan Renjun yang semakin intens, membuat Haechan iri. Seharusnya perempuan itu sadar, sebelum Jeno menjadi miliknya, pemuda itu memang sangatlah peduli dan perhatian kepada Renjun juga. Lagi pula, Renjun itu juga sahabatnya 'kan? Mereka bertiga bersahabat, bukan? Lantas mengapa Haechan harus bersikap demikian?

Emosi Haechan tidak terkontrol. Salah satu sifat buruknya, yang baru pertama kali ini diketahui kedua sahabatnya. Tidak, lebih tepatnya hanyalah Renjun, karena Jeno tengah mengikuti kegiatan ekstrakulikuler, pemuda itu tidak bersama keduanya. Dan lagi, kini Haechan dan Renjun tengah berada di depan kelas mereka. Suasana sekolah yang sepi, terlebih anak kelas yang hanya menyisakan keduanya, Haechan secara gamblang meluapkan emosinya. Selama ini Haechan cukup sabar karena Jeno juga cukup perhatian dengan perempuan yang satu itu-tidak hanya dengannya-akan tetapi setelah melihat bukti video yang diberikan seseorang yang tidak ia kenal, Haechan benar-benar tak terkendali.

"Dasar murahan. Lo seharusnya nyadar diri, Jeno itu pacar gue. Selama ini gue sudah berusaha sebisa mungkin biasa saja sama lo yang selalu dekat sama Jeno. Dan sekarang apa? Lo dengan ganjennya jalan berdua sama Jeno, dan ... astaga, lo tahu jijik? Gue jijik banget sumpah pas liat video lo yang sok kecakepan tadi. Dan sial! Jeno bajingan, lo ngapain ngusak rambutnya si culun satu ini!!" Haechan berteriak frustasi, rambutnya diacak hingga tak karuan. Napasnya memburu, Haechan benci miliknya dekat atau disentuh orang lain.

"Sekarang lo bukan teman gue, apalagi sahabat gue. Gue benci sama lo, Renjun!" perkataan itu terngiang jelas di kepala Renjun. Air mata luruh, ucapan Haechan barusan terus terngiang meskipun sahabat-tidak, lebih tepatnya mantan sahabatnya-telah pergi menjauh darinya. Haechan pergi setelah mendorong bahu Renjun.

Pergi, hingga Renjun tak lagi dapat menggapainya. Perempuan itu benar-benar menjauhinya, bahkan sangat membencinya. Renjun hanya dapat pasrah, berharap kepada Tuhan agar sahabatnya itu mau memaafkannya bila memang ia bersalah. Karena sampai kapan pun, Haechan tetaplah sahabatnya. Sahabat Renjun yang hingga kini, bahkan hingga nanti, tetap paling ia rindukan afeksinya.

//

"Humeera tidak salah, Sayang. Aku yang salah, kamu-"

"Kamu bisa diam tidak sih, Jeno?!" Haechan berujar sinis.

Suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja. Terhitung, sudah lebih dari tiga hari Haechan memusuhi Renjun. Tidak lagi duduk bersama perempuan itu, tidak lagi berinteraksi seperti biasanya, dan tidak lagi sudi menatap wujud perempuan yang satu itu. Haechan benar-benar marah besar. Ingatannya tentang video Jeno yang tersenyum hangat sembari mengusap lembut surai "mantan sahabatnya", juga senyum ceria Renjun saat diperlakukan demikian, membuat Haechan hingga saat ini geram. Jeno pernah menjelaskan bahwa kedekatannya dengan Renjun tidaklah sespesial dengan Haechan. Dan untuk pergi berdua bersama Renjun, Jeno menjelaskan bahwa itu memang benar, akan tetapi jauh sebelum Jeno memiliki rasa dengannya, dengan Haechan. Selepas status disandang keduanya, Jeno tidaklah lagi pernah seintens dengan Renjun. Selayaknya sahabat, ia hanya memperlakukan Renjun dengan baik seperti sebelum-sebelumnya. Lagi pula, kala itu-ketika Jeno pergi bersama Renjun-tepat satu hari sebelum ulang tahun Haechan. Mereka berdua memang merencanakan memberi hadiah dan sedikit kejutan, dan Jeno rasa itu hal yang wajar, karena Haechan dan Renjun juga pernah demikian ketika ulang tahunnya berlangsung.

Di salah satu kedai bakso yang menjadi tempat favorit keduanya-juga Renjun-kedua pasang kekasih itu melanjutkan makannya. Tidak ada lagi pembahasan yang dibuka, Jeno tahu bahwasanya pacarnya perlu sedikit waktu hingga hatinya benar-benar luluh, tetapi ia menjadi teringat akan sesuatu-mengenai Renjun yang tengah berduka. Tadi pagi pak Daffa mendapatkan kabar, kedua orang tua Renjun telah tiada sebab kecelakaan. Dalam hati Jeno berujar, pantas saja perempuan itu tidak masuk sekolah, rupanya ia tengah ditimpa musibah. Tidak, tidak, sebenarnya lebih tepat jika pernyataan itu diberikan untuk kedua orang tuanya, akan tetapi Jeno rasa itu samalah saja mengingat Renjun pasti juga terpukul.

"Sudah. Ayo pulang!" Haechan masih dengan sikapnya, perempuan itu masih sedikit kesal dengan Jeno. Meskipun kekasihnya sudah berulang kali mengatakan bahwa isi dari video yang Haechan ceritakan merupakan telah lama berlalu, Haechan tetaplah Haechan. Perempuan dengan keras kepalanya itu tidak akan semudah itu percaya, jika pun memang benar demikian, sifat tidak mau kalahnya akan terpancar. Ia benar-benar perempuan yang tidak ingin kalah, tentunya perempuan yang tidak ingin dianggap salah. Egois, Haechan menyadarinya, namun ia tidak memperdulikannya selagi hal tersebut menyangkut dirinya dan orang yang ia sayang.

Dengan menggunakan sepeda motor, Jeno membawa Haechan membelah kota Bandung. Jarak sekolah menuju kedai bakso memang tidaklah terlalu jauh, namun dengan itu jarak dari sana menuju rumah Haechan menjadi sedikit lebih jauh dibandingkan dari sekolah.

Di belakang, Haechan memeluk erat pinggang sang kekasih. Menyandarkan wajah sebelah kanannya di punggung lebar milik Jeno. Ia senang menaiki motor bersama kekasihnya, karena menurut Haechan dengan menaiki motor ia dapat lebih dekat dengan Jeno. Sesekali ketika pulang pun mereka terlibat obrolan kecil, meskipun terkadang suara tidak terdengar, tetapi keduanya menyukai itu. Menyukai interaksi yang menurut sebagian orang menyebalkan.

Saat genggaman Haechan dipererat oleh perempuan itu, Jeno menyadari satu hal. Haechan yang biasanya banyak berbicara, kini hanya terdiam. Menyandar pada punggungnya, menyamankan diri tanpa mengeluarkan sepatah kata. Haechan dengan sikap yang seperti itu tidaklah sulit untuk Jeno tebak. Ia mengetahuinya, mengetahui bahwa diamnya Haechan, perempuan itu menahan tangisnya. Jeno tahu Haechan bukanlah orang yang terlalu tega berperilaku buruk terhadap sesama, terlebih terhadap Renjun yang jelas-jelas merupakan sahabatnya. Meski Haechan telah mengatakan berulang kali bahwa mereka (Haechan dan Jeno) bukanlah sahabat Renjun lagi, jauh di lubuk hati terdalam, Jeno mengetahui bahwa kekasih sekaligus sahabatnya itu masihlah sangat menyayangi Renjun.

Ketika Pak Daffa memberitahukan berita duka mengenai keluarga Renjun, Jeno dapat melihat dari kedua netra Haechan, bahwa kekasihnya itu sama terkejut seperti dirinya. Kedua orang tua Renjun merupakan orang yang baik, tidak heran anaknya baik pula. Haechan dan Jeno beberapa kali menyandangi rumah Renjun, yang pastinya ibu dari perempuan itu selalu ada di dalamnya, seorang ibu rumah tangga memangnya akan ke mana? Terlebih, jika dilihat-lihat, ibu Renjun bukanlah wanita glamor yang gemar menghabiskan uang dengan berbelanja bersama teman-teman arisan. Setiap akhir pekan, ayah pun dapat dilihat, berbeda dengan Haechan dan Jeno yang jarang sekali berkumpul bersama keluarga.

Semakin erat genggaman di jaket yang Jeno gunakan, Haechan bergumam sangat lirih, "Maaf, Renjun ...." Pernyataan itu terlontar, hanya angin yang dapat mendengarnya.

-To Be Continued-

Oke, next Jeno ('∀`)

Monster Pembimbing ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang