#33. Pesan Mama

491 69 6
                                    

Tidak terasa, waktu bergulir dengan begitu cepatnya. Memang, ya, jikalau kita menikmati hari-hari dengan banyak kegiatan di dalamnya, pasti tidak akan terasa tiba-tiba saja waktu sudah  berlalu begitu saja. Hari demi hari telah Renjun lalui. Di mulai dari kegiatan sehari-hari bersama janin yang terkadang suka rewel; tendangan kecil hingga mampu membuat kram perut, atau bahkan keinginan-keinginan aneh yang beruntung tidak bertahan lama.

Renjun akui tidak mudah merawat diri serta janinnya seorang diri tanpa bantuan sosok yang seharusnya menjadi pelindung serta sosok yang selalu ada jika tiba-tiba sang jabang bayi mulai bertingkah. Tetapi, Renjun cukup kuat. Meski umurnya masih dapat dibilang muda, perempuan itu mampu mengatasinya. Kecerdasan otak dan rasa ingin tahu yang tinggi, membuat anak itu gemar membaca dan ingin mengetahui banyak hal. Renjun pernah beberapa kali mencari tahu hal tentang parenting, bahkan sebelum kejadian malang menimpanya.

Oh, tidak, tidak. Kali ini, Renjun tidak lagi menganggap semuanya adalah kemalangan. Renjun rasa, kehadiran sosok yang awalnya sempat tak ia inginkan, kini adalah sebuah anugerah. Renjun senang "ia" ada. Renjun tidak lagi kesepian. Kehadirannya menemani hari-harinya.

"Bagaimana? Semuanya baik-baik saja, ‘kan?" tanya Bunda Doy.

Di seberangnya, Renjun mengangguk patah-patah. Gurat wajahnya seperti seseorang yang baru saja terkena serangan syok. Bingung, cemas, gusar, Bunda Doy dapat lihat dari pancaran mata remaja di depannya.

"Renjun ..." Bunda Doy menghampiri, memeluk Renjun dengan begitu eratnya. "Semuanya akan berlalu, Bunda yakin."

Renjun menangis. Pundak sosok yang belakangan ini telah ia anggap sebagai "ibu"nya sendiri, ia cengkeram dengan kuat. Menangis tersedu tanpa suara, tubuhnya gemetar. Bahkan, mereka masih berada di depan ruang dokter yang baru saja memeriksa Renjun.

Setelahnya, kedua wanita itu pergi kembali menuju Rumah Makan. Renjun tidak dibiarkan bekerja untuk beberapa saat ke depan, bagaimana tidak, di saat perempuan itu tengah sedih-sedihnya. Tidak ada pekerja lain yang merasa Renjun terlalu diistimewakan, karena memang mereka semua paham.

Delapan bulan, bukanlah waktu yang singkat. Hari-hari telah banyak Renjun lalui dengan berbagai cerita. Renjun tidak lagi kesepian karena memang semenjak kenal dengan Bunda Doy, serta orang-orang di dalam Rumah Makan milik Bunda Doy, Renjun merasakan perubahan. Ia menjadi begitu bahagia, bahkan ia rasa tidak terlalu jauh (perasaan bahagianya) pada saat semuanya masih baik-baik saja, saat semuanya belum bagaikan neraka.

"Kun, tolong buatkan coklat panas dua, ya. Sama air mineralnya."

Bunda Doy yang baru saja tiba bersama Renjun langsung berujar demikian tatkala mata menatap Kun yang kentara gurat khawatir menatap Renjun yang dipapah Bunda. Niat hati ingin membantu, ia urungkan saat Bunda Doy menitahkannya untuk segera membuatkan minuman, pun dengan anggukan kepala—menandakan untuk saat ini Renjun tidak bisa diganggu. Kun tahu adik kecilnya sedang tidak baik-baik saja.

"Bunda ..." lirih Renjun. Benar-benar begitu lirih suara perempuan satu itu.

Bunda Doy menggelengkan kepalanya. Terlihat begitu miris, Bunda masih merangkul Renjun. "Semua akan baik-baik saja, kamu harus percaya sama diri kamu, sama Bunda, dan sama semua keadaan, Renjun ...."

Remaja itu menangis, kepalanya digelengkan. Beberapa pelanggan yang tidak sengaja melihat tampak bingung—penasaran apa yang telah terjadi. Begitu pula halnya dengan Winwin, yang hingga kini sangat penasaran—bahkan sejak Bunda Doy bersama Renjun memasuki rumah makan.

"Bunda ... nan, nanti kalau ... nanti kalau—"

"Enggak, Renjun, enggak. Semua akan baik-baik saja. Kamu akan baik-baik saja, begitu pun dengan kandunganmu. Semua akan baik-baik saja, Bunda yang akan menjamin langsubg kalian akan bahagia selalu. Semua akan baik-baik saja."

Renjun semakin terisak. Meskipun tidak meraung, air mata luruh begitu banyak. "Renjun takut, Bunda ... Renjun takut ...."

"Renjun, dengar." Doy harus kuat, bagaimana pun ia tidak boleh menangis lebih lama lagi. Jikalau saja dia sedih, bagaimana dengan Renjun? Perempuan itu harus ada sosok yang menguatkan, meyakinkan pula bahwa semua akan baik pada akhirnya. "Bunda selalu ada di sampingmu, untukmu. Tidak ada lagi yang bisa menyakitimu karena Bunda, Kun, Windy, dan anak-anak Bunda lainnya di tempat ini, sangat menyayangi Renjun. Kamu harus meyakinkan diri kamu bahwa kamu pasti bisa, kamu kuat, kamu dapat melaluinya. Semua akan baik-baik saja, kalian akan bahagia. Kamu engga boleh nangis, engga boleh sedih, enggak boleh putus asa, Renjun .... Di sini, bukan hanya perasaan dan kondisi kamu saja yang harus diperhatikan, tetapi anak di kandunganmu juga. Kamu tidak ingin anakmu sedih, kamu tidak ingin perkembangan anakmu terganggu, 'kan?"

"Renjun, mulai saat ini kamu harus yakini kepada dirimu sendiri, bahwa semua akan baik-baik saja. Semuanya ... akan baik-baik saja."

//

"Wah, anakmu sangat aktif. Selamat, anakmu perempuan."

Tidak bisa lagi dideskripsikan seberapa bahagia Renjun saat ini.  Bunda Doy yang mendengarnya saja sudah tersenyum lebar sembari mengusap kepala Renjun dengan penuh kasih sayang.

"Ini, kamu bisa lihat sudah hampir sempurna bentuk anakmu. Kaki, kepala, badan, dan tangan, dia sehat dan baik-baik saja." Sang Dokter tersenyum. Menunjukkan bagian-bagian yang disebutkan yang terpampang di layar khusus.

"Kedepannya, kamu harus lebih sering mengonsumsi makanan bervitamin dan berzat gizi tinggi. Jangan lupa minum susu juga, hamil di usia dini masihlah sangat rentan, kamu harus benar-benar merawatnya dengan baik, ya."

"Jangan terlalu lelah, jangan juga banyak pikiran. Ingat, kamu tidak lagi harus merawat diri, melainkan ada sosok lain yang selalu menemani di setiap pergerakanmu."

"Ini, hasil rontgennya. Sekali lagi, selamat!"

Masih dengan senyum yang tak luntur barang sedikit pun, Renjun bangkit dari ranjang rumah sakit. Mengangguk sebagai respon atas apa yang dokter baru saja sampaikan. Sungguh, hati Renjun sangat senang mendengarnya.

Di balik jendela kamar rumahnya, Renjun mengingat dengan baik perkataan dokter kala ia memeriksa kandungan di usia kandungannya menginjak 7 bulan. Mengingat itu, Renjun tidak henti-hentinya tersenyum. Sebahagia itu memang mendengar penjelasan yang dokter berikan. Renjun senang, bahwa putri kecilnya tumbuh dengan baik di dalam perutnya.

"Nak, Dokter bilang kamu baik-baik saja. Mama senang dengarnya. Mama harap kamu akan terus sehat selalu, ya, Nak. Kamu harus menjadi gadis yang kuat, jangan mudah termakan omongan seseorang. Kamu harus bisa menjadi anak yang cerdas, tapi jangan melupakan fakta bahwa kecerdasan tidak untuk diri sendiri, melainkan untuk sekitar pula."

"Nak, jika besar nanti, tolong jaga Bunda Doy, ya. Sering-seringlah jumpai beliau. Jumpai Kak Windy, Kak Kun, serta jumpai orang-orang yang sudah Mama anggap sebagai sosok malaikat."

"Mama harap kamu jangan menjadi seorang pendendam. Kamu harus bermurah hati memaafkan, sekali pun orang itu telah berbuat buruk kepadamu."

"Nak, ketahuilah ... mungkin memang benar Mama terlalu muda mengatakan demikian, tetapi tak dipungkiri bahwa ... Mama lelah, Nak. Mama sudah lelah ...."

"Pesan Mama, kamu jangan menjadi seperti Mama kelak. Kamu harus lebih kuat, dan kamu harus menjadi cahaya bagi orang sekitar."

—To Be Continued—

Humee kenapa 😭😭😭

Monster Pembimbing ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang