#09. Sebuah Permainan Belaka

701 104 7
                                    

"Beberapa hari belakang ini kamu jarang masuk. Kenapa?" Johnny selaku pemilik kafe bertanya. Renjun tak mampu menjawabnya. Perempuan itu terlalu bingung—tidak mungkin dia menjawab yang sebenarnya, 'kan?

"Saya ... hmm—" menggigit bibirnya hingga rasa asin darah tercecap, Renjun tak berani menatap atasannya. Meskipun Johnny sudah dia anggap seperti abangnya sendiri—karena sifat pria itu yang humoris dan membuatnya nyaman—Renjun tidak pernah berani jika sudah dihadapkan dengan kondisi menegangkan seperti ini. Pria itu akan sangat berbeda; tampak dingin dan terkesan keras.

"Kakak tahu kamu sangat membutuhkan pekerjaan ini, tapi Kakak juga tidak bisa terus-menerus menerima kamu yang dalam seminggu selalu datang terlambat. Apa lagi belakangan ini kamu sering tidak masuk kerja." Renjun masih setia mendengar penuturan bosnya itu. Jantungnya berdegup cepat, dia tidak sanggup mendengar kemungkinan buruk yang akan menimpanya.

"Kamu memang sudah Kakak anggap seperti adik Kakak sendiri, tapi tidakkah kamu merasa malu dengan Kakak yang masih berbaik hati menerimamu bekerja di sini, juga dua temanmu yang silih berganti menggantikan pekerjaanmu?" kini, perempuan itu menundukkan kepalanya. Tanpa dikatakan demikian pun Renjun sadar diri, dia sangat malu, perempuan itu pula sangatlah tidak enak hati dengan bos dan juga kedua rekan kerjanya yang lain. Namun ... Renjun harus bagaimana lagi? Apa yang harus dilakukan?

Selepas pulang sekolah, selalu ada saja yang menggangunya. Entah itu mereka yang hanya ingin bermain-main dengannya atau mereka yang memanfaatkan Renjun untuk melakukan sesuatu hal. Renjun apa daya menolak permintaan mereka. Dia terlampau takut sekadar mengucapkan kata "tidak". Renjun tak lagi memiliki sanak saudara, tidak ada yang dapat membantunya. Sekali pun akan ada yang menolongnya, haruskah Renjun mempercayakannya?

Bahkan, Jaehyun kala itu pun melakukan hal yang sama dengannya. Haechan dan Jeno pun demikian.

Dahulu, mereka sangatlah baik terhadapnya. Namun entah apa yang telah Renjun perbuat hingga membuat ketiga orang itu membencinya.

Seolah benar-benar tidak menerima kehadirannya.

"Kakak kasih kamu satu kali kesempatan. Selepas itu, dengan berat hati, kamu harus meninggalkan kafe ini, Humeera."

Perkataan itu sangatlah miris, namun setidaknya masih ada satu kali kesempatan bagi Renjun. Dia akan menggunakan kesempatan itu sebaik mungkin. Dia tidak ingin kehilangan pekerjaan. Mencari pekerjaan tidaklah mudah, maka dari itu ia akan memaksimalkannya. Akan menata diri, mencoba menghindar dari semua, demi pekerjaannya yang meskipun tak seberapa gajinya.

"Akhir-akhir ini pemasukan tidaklah banyak. Dalam sebulan, jika memang tidak ada keuntungan, sepertinya Kakak akan menutup kafe ini. Entah akan dijual atau disewakan."

Renjun membelalakkan matanya. Mendengar itu, semakin tak enak hati pula dirinya.

"Ya, sudah. Kamu bisa lanjut bekerja."

Perempuan itu mengangguk, lantas berbalik arah dan meninggalkan Johnny di ruang kerjanya.

"Humeera!" belum sempat membuka pintu ruang kerja bosnya, Johnny menyerukan nama perempuan itu.

"Ya?"

Johnny sedikit membereskan mejanya yang penuh dengan lembar kertas. Renjun masih setia mengikuti gerak-gerik bosnya itu.

"Ini, beli beberapa obat untuk menyembuhkan luka-lukamu." Tangan besar pria itu terulur, menyentuh luka di sisi bibir bagian kanan Renjun.

"Jika ada yang mengganggumu, katakan saja kepada Kakak. Kun dan Guanlin juga pasti akan menolongmu, jika kamu lebih terbuka, Humeera."

Renjun tersenyum. Dia sangat bersyukur setidaknya masih ada orang-orang yang peduli dengannya. Masih ada yang memikirkannya.

//

"Tidakkah kamu seperti lebih memperhatikan penampilan?" Jaehyun menyesap kopi di dalam gelas berukuran kecil. Benda cair itu begitu pekat warnanya, dengan rasa pahit yang tidak dapat Renjun toleransi. Perempuan itu mengetahuinya, karena memang dia pernah dipaksa minum oleh Jaehyun.

"Tubuhmu kurusan, dan wajahmu lebih bersih."

Renjun masih setia terdiam. Di balik selimut putih yang membungkus tubuhnya, Renjun hanya dapat memperhatikan layar televisi yang tengah menayangkan tayangan yang sebenarnya tidak begitu dipedulikan olehnya.

"Siapa yang membantumu?"

Perempuan itu menoleh, menatap Jaehyun penuh dengan kebingungan. "Apa maksudmu?" mendengarnya, Jaehyun terkekeh.

"Kamu diet?" Renjun menggeleng.

"Siapa yang membawamu ke salon?"

"Tidak ada."

"Saya tahu kamu berbohong."

Ini terlalu membingungkan. Setelah kesialan menimpa Renjun karena harus ikut Jaehyun ke tempat tinggal pria itu selepas bekerja di kafe, kini dirinya dibombandir oleh pertanyaan-pertanyaan yang menurutnya tidaklah begitu penting. Lagi pula, berat badannya turun juga karena terlalu banyak pikiran dan beban hati, itu bukanlah hal yang baru. Juga, beberapa kali tidak enak badan, tentu membuat energinya terkuras, dan pola makan semakin tidak beratur yang mana itu sangat berpengaruh terhadap tubuhnya.

Tubuh Renjun benar-benar sudah tidaklah sehat. Baik fisik bagian dalam maupun luar. Baik hati maupun batinnya, perempuan itu sangatlah tidak sehat.

"Kamu yang membawaku." Renjun menggigit bibirnya. Pertanyaan Jaehyun tadi sangatlah aneh, karena jelas minggu lalu lelaki itu membawanya ke salon. Di sana, penampilan Renjun sangat diperhatikan; mulai dari membeli pakaian dan juga perawatan kulit dan rambut. Tidak hanya itu, Jaehyun juga sempat mengajaknya ke dokter kecantikan. Dari sana, beberapa resep diberikan dokter, dan dari sana pula, saat pulang ke rumah, Renjun membawa berbagai produk kecantikan yang membuat wajahnya terlihat lebih baik daripada sebelumnya.

"Mustahil. Untuk apa saya mempedulikanmu? Bahkan kamu tahu sendiri, bukan, kamu lebih baik terlihat culun dan gendut."

Jaehyun itu seperti orang tak waras. Apa iya dia benar-benar lupa? Itu barulah minggu lalu, masa iya secapat itu ia melupakannya?

"Saya sekarang sedang banyak pekerjaan. Lebih baik kamu tidur, besok masih harus pergi ke sekolah."

Ya, Jaehyun benar-benar aneh. Dia tampak seperti seseorang dengan berbagai kerpribadian. Renjun tak habis pikir.

Sepeninggalnya Jaehyun menuju ruang kerjanya, Renjun hanya dapat terdiam. Dia begitu menertawakan kehidupannya. Menertawakan keanehan orang di sekitarnya. Entah itu Jaehyun yang kerap kali berhati malaikat lalu tak lama kemudian berubah menjadi iblis, ataupun teman-teman sekolahnya yang tidak dapat dimengertinya.

Ini sudah hampir akhir tahun semester dua, dan rasa ingin cepat-cepat lulus dari sekolah sangatlah dia nanti-nantikan. Renjun harap, dirinya dapat benar-benar terbebas dari orang-orang yang kini sangatlah menakutkan.

Dari Jaehyun si guru bahasa Prancis dengan kepribadian anehnya, Haechan dan pacarnya yang sangat tak masuk di akal kelakuan keduanya, Keoun dan kawan-kawannya yang sangat tak dimengerti, juga Pak Taeyong yang kerap kali memperhatikannya, padahal rumor yang beredar Pak Taeyong hanya suka memperhatikan siswa saja—karena mereka (murid-murid) mengatakan guru tersebut menyimpang.

Oh, sampai lupa. Sosok satu lagi yang akhir-akhir ini sering kali dijumpai oleh Renjun. Nana, perempuan itu sering datang ke kafe, ternyata sudah cukup lama dari yang Renjun kira. Jarang masuk kerja membuat Renjun baru menemui Nana akhir-akhir ini—tentu selepas perkenalan keduanya kala itu.

"Kehidupanku tak lain dan tak bukan hanyalah permainan mereka semua. Aku harap ke depannya, ini akan segera berakhir. Aku sangat membenci semuanya."

Ya, Renjun membenci karena dia sudah sangat lelah.

—To Be Continued

Ada apa sebenarnya dengan Jaehyun dan Renjun?
Atau mungkin dengan yang lainnya??

Hmmm.....

Monster Pembimbing ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang