#01. Budak Cinta dan Pencemburu

2.5K 170 28
                                    

Bertubuh agak gempal—dengan berat badan lebih dari 70, serta tinggi 165, merupakan salah satu hal yang membuat Renjun dirundungi. Selain itu, tentu karena cewek bersurai sehitam arang tidak pernah melawan. Dia hanya pasrah menerima segala perlakuan buruk yang diberikan untuknya. Di mulai dari menuangkan minuman ke kepala, sampai bentuk kekerasan fisik sekali pun. Renjun hanya diam, tidak berani melawan. Jangan harapkan pihak sekolah akan bertindak, apalagi guru membelanya. Tidak akan pernah, karena sebagian guru pula melakukan hal yang sama.

Memperbudaknya, serta melakukan hal tak senonoh terhadapnya.

Dunia sudah gila, Renjun rasanya ingin pergi saja. Pergi menjauh dari dunia yang kejam, mungkin pergi menyusul mama dan papanya.

Ya, seharusnya dia menyusul kedua orang tua itu saja, namun disayangkan ... Tuhan belum menghendakinya. Tuhan masih ingin Renjun hidup di dunia, melewati rintangan yang diberikannya.

"Apa?! Mending cepetan deh lo kerjain tugas gue. Jangan genit natap-natap pacar gue! Mau gue gibeng?!"

Felicia Haechan Angelica. Cewek terbahenol di kelas. Cewek yang selalu meminta Renjun mengerjakan tugasnya. Cewek ... yang selalu menindasnya.

Di samping cewek itu, terdapat seorang cowok bertubuh tegap. Siapa lagi kalau bukan pujaan hatinya, Brianka Jeno. Sudah tidak heran Jeno selalu membuntuti kekasihnya itu. Sandang 'budak cinta' sudah tersebar ke penjuru sekolah. Jangankan murid sekolahnya sendiri, banyak juga kok murid dari sekolah lain yang mengetahui itu.

Memiliki pengikut lima ribu di Instagram tentu menandakan seberapa terkenalnya dia. Wajahnya juga rupawan, jangan lupakan ketertarikan anak itu dalam bela diri karate, mampu membuat semua terpesona. Ya, termasuk Haechan ini. Namun, dikarenakan kisah ini mengenai Renjun Humeera, mari kita tinggalkan pasangan bombastis itu, beralih kepada cewek culun yang selalu dipandang jijik oleh siapa saja yang melihatnya.

Renjun bukan orang yang bisa menjaga penampilan—sekali pun dia memperhatikan itu, untuk apa? Toh, pada akhirnya "mereka" akan membuatnya kembali menjadi si buruk rupa.

Cewek itu selalu pulang dengan penampilan jauh dari kata baik-baik saja. Entah yang rambutnya penuh dengan tepung atau bahkan yang paling mengenaskan tubuhnya dipenuhi oleh bercak merah juga bau menyengat dari air mani guru pembimbingnya.

Ini gila, namun sialnya merupakan sebuah kenyataan yang harus diterima.

"Nah, gitu dong. Terus pake, ya, otak encer lo ini. Biar gue enak, tinggal nyuruh lo doang kerjain semua tugas gue." Kepalanya beberapa kali ditepuk pelan oleh Haechan. Pelan, namun saat ditepukan ketiga, toyoranlah yang dia dapatkan.

"Udahlah, Yang. Kamu gak capek apa gangguin dia terus? Mendingan kita—"

"Kamu belain dia?!"

Belum sempat melanjutkan perkataannya, Jeno sudah terlebih dahulu dicecar kekasih manisnya. Jika Jeno mendapatkan gelar "budak cinta", maka kekasihnya pun mendapatkan gelar, lebih tepatnya gelar "pencemburu" tingkat akut. Melihat Jeno melirik orang saja si manis sudah kesal bukan main. Lebih parahnya, jika didapatkan siapa yang sempat mencuri-curi pandang kepada Jeno, Haechan akan langsung mendampratnya.

Memang seposesif itu dan semengerikan itu si Felicia.

"Udah, deh, madep depan sana! Jangan ngeliatin dia." Haechan yang merajuk merupakan sebuah masalah. Perempuan itu akan sulit dibujuk, namun jikalau tidak dibujuk, perempuan itu akan menangis menganggap Jeno sudah tidak lagi peduli padanya—tidak lagi cinta padanya.

Ternyata, selain posesif, Haechan juga ratu drama. Selalu saja ada tingkahnya, yang membuat semua orang menggelengkan kepala melihat pasangan itu jika sedang tidak akur.

"Yang, enggak marah 'kan? Aku 'kan cuma—"

"Ya, lo pikir aja gue marah apa enggak, Brianka Jeno?!" Haechan mengerucutkan bibirnya. Kesal dengan sikap kelewat tidak peka milik si budak cinta. Ingin merauk wajah tampan yang tengah menatapnya sedih, namun sayang, takut wajah itu tidak lagi tampan. Tetapi, demi Tuhan, wajah Jeno yang sok sedih justru pengin sekali Haechan tonjok. Sangat tidak cocok dengan postur tubuh si lelaki!

Di belakang sana, Renjun menundukkan kepala. Tangannya masih sibuk menorehkan tinta ke atas lembar demi lembar kertas. Selain tugas milik Haechan, beberapa teman sekelasnya juga memintanya—lebih tepatnya, memaksa—mengerjakan tugas yang tidak dapat dibilang sedikit. Kali ini tugas bahasa Inggris. Pak Daffa—atau biasa pula dipanggil Taeil, karena nama lengkapnya Daffara Taeil Immanuel—sedang berhalangan hadir. Ketua kelas berkata pria 45 tahun itu tengah menemani istrinya di rumah sakit. Di usia mendekati senja, rentan sekali memang penyakit datang. Beberapa kali juga pak Daffa harus ke rumah sakit karena koresterolnya tinggi.

"Nih. Kerjain juga punya gue." Renjun mendongak. Rupanya, Yuqi-lah yang menyodorkan tugasnya. Yuqiesta Petteran, nama lengkapnya.

Tidak heran memang, perempuan tomboy itu memang diketahui sangat malas mengerjakan tugas. Jangankan mengerjakan tugas, sekadar mendengarkan materi yang disampaikan guru saja Yuqi enggan. Datang ke sekolah hanya untuk tidur dan jajan di kantin. Itu juga, jajan hasil rampasan. Tetapi, sejauh ini Renjun tidak pernah diganggu oleh perempuan itu. Mentoknya, hanya disuruh mengerjakan tugas.

Setidaknya, Renjun bersyukur. Dengan begitu, dia tidak perlu merasakan sakit yang berlebih saat orang-orang menindasnya.

Perempuan berkaca mata bulat tersenyum simpul menatap Yuqi, lalu melanjutkan kegiatan menulisnya. Tersisa tiga tugas lagi. Milik Haechan, Yuqi, dan miliknya. Setelah itu ... Renjun harap dia bisa sedikit bernapas lega.

"Lo tahu gak, sih, guru baru itu?" bisik-bisik terdengar tidak jauh dari tempat Renjun duduk. Seorang perempuan bersurai pendek tampak tengah berbicara serius dengan dua temannya yang lain.

"Ooh, yang guru muda itu, ya?" salah satu temannya menyahuti. Wajahnya berbinar, tampak sangat antusias dengan percakapan kali ini.

Si surai pendek mengangguk dengan senyum misteriusnya. "Yaps, yang gantengnya enggak ketulungan."

"Kenapa emangnya?" si surai ikal yang sedari tadi hanya menyimak membuka suara. Merasa tertarik juga dengan pembahasan temannya yang satu ini.

"Rumornya ... dia gay!" di antara kedua temannya tidak ada yang tidak melotot. Terlampau terkejut mendengar pernyataan itu. Meskipun baru rumor, tetapi jika mengingat perangai sosok guru baru mereka itu memang sudah kentara sekali.

Penampilannya, aroma parfum yang dikenakan, tatapannya saat melihat siswa-siswa, dan yang paling penting, guru itu belum juga meminang seorang wanita. Padahal setahu mereka (Keoun, Hina dan Lami) umur guru baru itu sudah cukup matang untuk menjalin sebuah hubungan rumah tangga. 30 tahun, bukankah seharusnya sudah terikat atau bahkan sudah memiliki anak?

Lami saja ingin menikah setelah sekolah menengah. Kuliah sembari mengurus keluarga, dia rasa bukan ide yang buruk. Dengan begitu juga, perbedaan umur anaknya kelak dengan dirinya tidaklah terlalu jauh. Ya, nikah muda merupakan impian perempuan itu. Sangat berbanding terbalik dengan Hina, yang bahkan sekadar pacaran saja belum kepikiran.

"Gila. Enggak nyangka gue dia belok. Padahal gue selalu caper, siapa tahu dia kepincut. Eh, tau-taunya? Astaga ... pantesan gue enggak ditengok sedikit pun. Gitu ternyata alasannya." Lami berujar dramatis. Ratu drama kelas itu memang sudah ahlinya, selain Felicia tentu saja.

"Gue rasa, selain dia yang gak doyan cewek, dianya aja emang gak tertarik sama lo, Lam. Secara, lo kebanyakan drama. Enek yang ada dia deket-deket lo."

Lami mengerucutkan bibirnya. Perkataan Hina barusan mampu menghilangkan rasa percaya dirinya untuk mendapatkan guru baru ganteng yang baru saja dibicarakan. "Sialan lo!"

-To Be Continued-

Hmm..
Siapa guru barunya, ya... 🤔🤔

Monster Pembimbing ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang