3) Dead Star

31 14 11
                                    

Hari demi hari, ke lima remaja terus memantau perkembangan mesin waktu. Walaupun terkadang hadir rasa tidak nyaman yang membuat mereka semua berhenti sejenak, tapi Eser kembali menyakinkan teman-temannya bahwa tujuan pembuatan mesin waktu sangat mereka butuhkan. Bukan untuk mengubah sejarah, setidaknya mereka kembali menikmati sejarah tersebut.

Atap tembus pandang pada Lab milik Eser terlihat jelas. Bintang-bintang yang bertabur indah, membuat pemandangan pada malam itu terkesan romantis. Di bawah sinar rembulan dan taburan bintang, ke lima remaja tersebut sedang menyempurnakan mesin buatannya. Perangkat dalamnya sudah mereka sempurnakan, dan sekarang hanya penyempurnaan fisik mesin tersebut.

Pengecilan ukuran sudah Ethan lakukan, pengaktifan mesin juga sudah dibereskan oleh Thanesa. Rose serta Adam bahkan berulang kali mengecek kesempurnaan mesin dan kelayakan pakai untuk seumur hidup, ah! Mungkin berabad-abad setelah si pembuat mesin tiada. Ke lima remaja tersebut benar-benar melakukan tugasnya sendiri dengan baik. Bahkan tanpa bantuan Profesor lagi, sampai saat ini. Mereka bisa mengatasinya, selagi otak cerdasnya masih utuh di kepala para remaja. Kalau kata Adam.

"Punya otak itu digunain dengan baik, jangan contoh orang-orang yang punya otak tapi nggak bisa buat mikir mana yang baik dan tidak."

Jika seorang Ar-Rezzel Adam sudah bersabda, di jamin tidak akan ada yang membantah mahasiswa fisika tersebut. Terserah Adam saja, yang terpenting otaknya masih bisa diajak untuk menjelajah pulau angka.

"Loh, ini kenapa rapuh banget fisiknya?" cetus Thanesa, saat setelah mengecek fisik mesin tersebut.

Eser menoleh, lalu mendekati Thanesa dan memukul mesin kloningan dari mesin waktu yang asli dengan martil, dan benar mesin kloningan tersebut langsung hancur tidak berbentuk.

"Iya juga ya, padahal ini sudah pakai baja tebal." Heran Eser.

Adam mendekat seraya memungut bongkahan baja mesin yang berceceran. Lelaki itu mendesis tatkala tangannya tidak sengaja tergores baja yang runcing, tatapannya ia arahkan pada atap transparan Lab, lalu muncul seringai kecilnya.

"Heh!" tegur Ethan kepada Adam.

"Kau ini sudah persis orang gila," ejek Ethan.

Adam merotasikan bola matanya jengah, lalu menonyor kepala Ethan dengan tidak elitenya, hingga membuat Ethan berdecak lalu membalas tonyoron Adam juga.

"Katai putih," gumam Adam.

"Hah?" Beo mereka semua.

Adam menatap malas ke empat temannya, kenapa disaat seperti ini otak mereka sangat lemot. Sungguh ini hal yang paling disesalkan Adam memiliki teman seperti mereka semua.

"Katai putih atau katai degenerasi. Jangan bilang tidak tahu?" Desah Adam pasrah saat melihat anggukan polos teman-temannya. Namun sesaat kemudian Eser berseloroh heboh.

"Ohh, katai putih."

"Sial, aku tadi kan sudah bilang katai putih," sahut Adam.

"Harusnya kau bilang bintang mati saja, kan mudah dicerna otak," gerutu Eser.

"Oalah," seloroh Ethan, Rose, dan Thanesa bersamaan.

"Telat," desis Adam gemas.

Rose terkekeh, lalu merangkul Adam. "Aduh marah nih, haha. Salah kau juga sih sebenarnya hahaha," kelakar Rose senang, tapi tidak dengan Adam yang semakin muram.

"Katai putih, ya?" gumam Thanesa, membuat seluruh mata terpaku pada gadis yang sedang mengangguk-anggukan kepalanya.

"No bad," ujar Thanesa, manik mata gadis itu menghujam tepat pada manik mata Adam yang sepertinya menerima sinyal baik.

Impostor In Paradox TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang