22) Returnee

12 8 14
                                    

Keputusan dadakan akhirnya menjadi jalan terakhir dari Adam agar mereka semua tidak terlalu lama terjebak di Oasis Siwa. Keputusan dadakan yang akan mengantarkan mereka pada sebuah ancaman besar bagi diri sendiri, namun apa daya keputusan sudah di ambil secara bersama dengan paksaan Ethan juga tentunya. Entahlah laki-laki itu terus kukuh mempertahankan keinginannya untuk langsung pulang saja ke tahun 2059, tanpa memikirkan dampak apa yang akan menimpa mereka berlima.

Tanpa sepengetahuan sang kepala suku dan warga Oasis Siwa, ke lima mahasiswa itu langsung pergi dari pemukiman terpencil tersebut. Dua tas besar yang di bawa Ethan dan Eser merupakan saksi bisu perjuangan mereka sejak dari tahun 2059, tas yang sudah usang namun dapat mengangkut benda-benda berharga dari setiap tahun yang mereka jelajahi. 51-TM yang sudah mereka rangkai seperti sedia kala saat ini sudah berada di tangan Thanesa, sebagai seseorang yang ahli teknologi mutakhir tersebut, jangan lupakan Rose yang terus membawa perlengkapan dari lima temannya yang lain. Flyboard yang tersimpan rapi di balik punggung Rose terlipat menjadi kecil-kecil hampir mirip dengan koper kecil anak TK.

Malam ini mereka terus menyusuri dinginny angin malam di padang pasir, hanya berbekal senter usang. Tidak ada flyboard, untuk kali ini lantaran papan terbang tersebut harus diistirahatkan dari aktivitas demi kelangsungan perjalanan mereka. Mungkin saat ini ke lima mahasiswa itu sudah berjalan dua jam lamanya menyusuri lautan pasir yang entah kapan akan berakhir.

"Semakin lama semakin dingin ternyata," cetus Eser, seraya mengeratkan matel tebalnya.

"Kita akan mulai pergi kapan? Sedari tadi kita terus berjalan loh," sindir Rose, agaknya gadis itu sudah mulai mengeluh lagi dan lagi.

"Kita tunggu matahari terbit, agar proses pengisian daya dan segala prosedurnya berjalan cepat. Jika malam seperti ini, 51-TM sedikit susah untuk di aktifkan apalagi dengan adanya kerusakan dadakan," sahut Adam, yang masih fokus berjalan menatap ke depan.

"Kau yakin kita bisa pulang, Eth?" Tiba-tiba Thanesa menanyakan sebuah pertanyaan yang entah ada jawabannya atau tidak.

Ethan menoleh menatap gadis manis yang sedang berjalan di belakangnya, untung sesaat lelaki itu hanya bisa terdiam tanpa tahu harus menjawab apa.

"Apa kalian akan percaya jika aku berkata, kita pasti akan pulang."

Angin malam yang berembus justru semakin dingin. Pernyataan Ethan hanya disambut angin lalu, kembali terjadi keheningan. Mereka tidak mempermasalahkan hal itu dan justru lanjut dengan perjalanan tak bertujuan tersebut.

Perlahan tapi pasti, udara padang pasir sedikit menghangat diikuti dengan munculnya sumber cahaya utama yang masih malu-malu menampakakan dirinya.

"Sebentar lagi kita akan mengaktifkan mesin ini ya," cetus Thanesa yang di setujui oleh ke empat temannya.

Keputusan yang membuat kekhawatiran tersendiri, tapi dengan apik ke lima mahasiswa itu menutupi rasa tidak nyaman tersebut. Menunggu hal lain yang akan menunggu mereka semua kali ini. Terkadang rasa tidak nyaman itu terus hadir, perasaan-perasaan yang tidak menentu menumpuk terus menerus. Bertarung dengan akal pikiran, apakah jalan yang di pilih salah atau kah memang seperti ini jalannya.

Adam yang sedari tadi menutup mulutnya rapat menjadi pertanyaan asing di benak teman-temannya. Raut wajah lelaki itu yang terkesan datar dan dingin, membuat yang melihatnya merasa terganggu. Tidak seperti biasanya yang terkadang hanya memunculkan senyum tipis, kali ini tidak ada ... Adam berbeda.

"Adam? Kita akan pulang," tegur Rose secara halus, saat melihat lelaki itu tengah melamun.

"Iya."

"Kau tidak ingin membantu Thanesa mengaktifkan mesin waktunya?" Rose kembali berujar.

"Sudah ada Ethan."

Impostor In Paradox TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang