Pembicaraan mengenai Atlantis sendiri saat ini masih hangat-hangatnya bagi ke lima mahasiswa tersebut, apalagi dengan adanya bukti mata yang masih hidup, membuat mereka semakin penasaran akan keberadaan peradaban maju terdebut. Sebut saja Wila, wanita paruh baya yang di percayai kepala suku bahwa dia merupakan penduduk asli kota Atlantis sendiri, jangankan kepala suku ... semua penduduk Oasis Siwa pun percaya akan keberadaan Wila. Percakapan yang semakin asik tak juga berhenti, dan pendengar pun semakin merapat untuk mendengar kembali kisah kota Atlantis yang hilang.
"Ah jika kalian tahu, Atlantis merupakan perumpamaan dari surga. Hewan-hewannya yang manis, tumbuhannya yang subur, benar-benar mengagumkan." Perkataan Wila membuat semua pendengar semakin berimajiasi akan nyatanya Atlantis.
"Bagaimana dengan seluruh teknologi di sana?" tanya salah satu warga yang menyimak.
Wila menoleh, lalu pandangannya menerawang ke depan, membayangkan kehidupan masa lampaunya. Wanita itu tersenyum seraya mengangguk-angguk. "Ada satu permata besar yang menghubungkan keseluruh kota, permata itu lah salah satu teknologi dari ribuan teknologi yang ada di Atlantis," katanya penuh semangat.
"Apa benar kalau katanya Atlantis punya satu telaga ajaib?" Kali ini Ethan yang bertanya.
"Sebenarnya bukan di katakan ajaib, hm cerita yang kau baca terlalu di lebih-lebihkan sepertinya. Telaga di Atlantis memang ada satu, namun tidak ajaib. Telaga itu hanya telaga biasa, yang membedakan mungkin airnya saja yang dapat berubah warna sesuai musim," sahut Wila. "Jika pun telaga itu masih ada, mungkin saja warnanya sekarang biru kehijauan," lanjutnya seraya kembali menerawang.
"Kenapa biru kehijauan?" tanya Thanesa.
"Entahlah, tapi memang setiap alam dan makhluk yang tinggal di Atlantis mempunyai semacam ikatan batin. Mereka semua bisa merasakan satu sama lain," sahut Wila. Wanita paruh baya itu terus menceritakan apa saja yang ada di Atlantis, dari hal kecil hingga hal yang besar. Wila juga menceritakan cara warga Atlantis berkomunikasi, ia juga mengatakan bahwa Atlantis seperti sebuah planet tersendiri yang memang sudah di ciptakan sebelumnya.
Memang sulit untuk di percayai, tapi jika Wila sudah menceritakan secara detail seperti ini, siapa yang tidak akan percaya? Semua percaya. Lain hal dengan ke lima mahasiswa yang masih di ambang kepercayaan, mereka hanya tahu Atlantis dari sebuah buku di perpustakaan MIT, dan sekarang ke limanya mendengar langsung dari mantan warga Atlantis itu.
"Bagaimana cara berkomunikasi? Apa kau masih bisa berbicara dengan tumbuhan di sini?" tanya Rose penuh keraguan.
"Aku tidak yakin, aku sendiri berada jauh dari alam Atlantis bagaimana bisa berkomunikasi?" jawab Wila.
"Ah ku kira bisa, em begini saja. Coba kau berbicara menggunakan bahasa Atlantis, bisa?" Rose mengajukan tantangannya dan Wila pun mengangguk.
"Uiwwwiu uuuuu wwwiu uuiiww uwiiu."
"HAHAHAHAHAHA," tawa ke lima mahasiswa itu pecah seketika, menggelegar bak petir menyambar di siang bolong. Bahkan para warga pun sampai melongo di buatnya.
"Serius seperti itu? Hahaha, aduh perutku sakit haha." Eser tertawa di sela-sela ucapannya.
"Astaga komunikasi apa itu? Mirip dengan sirine ambulan dan polisi," sambung Adam yang masih terkekeh. Sedangkan ke tiga temannya yang lain masih asik tertawa, bahkan Rose sampai mengeluarkan air matanya.
Detik itu pula pipi Wila memerah. "Memang seperti itu cara berbicaranya," ujarnya gugup karena merasa malu.
"Sungguh? Kau pasti hanya mengarangnya kan? Ayo mengaku saja," sahut Ethan menuduh.
Wila menggeleng ribut. "Aku serius, memang seperti itu cara bicara jarak jauh. Em, itu seperti kita berteriak ... jika berbicara dekat seperti ini, kita warga Atlantis hanya diam saja," ujar Wila membela dirinya dari tuduhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Impostor In Paradox Time
Ficção CientíficaSebuah pertanyaan yang membuat satu dunia bertanya-tanya akan kebenarannya. "Apakah masa lalu dapat mempengaruhi masa depan?" Kehidupan manusia sendiri terdiri dari 3 masa. Masa lalu, masa sekarang, dan masa depan tapi kenapa semua orang justru han...