20) Egyptian

12 9 0
                                    

Pagi buta sekali, tiba-tiba kepala suku berkunjung ke gubuk para mahasiswa, mengajak mereka diam-diam meninggalkan Oasis Siwa, jawabannya masih misteri. Intinya ke lima mahasiswa itu saat ini sedang menuruti perintah kepala suku. Seraya menenteng beberapa perkakas lawas, mereka semua berjalan menyusuri luasnya padang pasir yang entah kapan akan berakhir. Kumpulan kaktus menjadi pemberhentian mereka kali ini, duduk di bawah lindungan batu besar yang menjulang tinggi membentuk sebuah lengkungan jalanan. Seraya berteduh di lengkungan batu, ke lima mahasiswa itu mengeluarkan air minum dan makanan, lalu menawarkan sedikit ke kepala suku dan salah satu orang kepercayaan kepala suku, yang kebetulan sedang ikut juga.

"Masih jauh ya?" celetuk Adam tiba-tiba, membuat kepala suku menoleh ke sang empu lalu menggeleng.

Sepi. Hanya ada embusan angin padang pasir yang mengembus pelan, bahkan matahari kala itu menyorotkan cahayanya dengan berani, hingga membuat silau siapapun yang melihatnya.

Rose mendekat ke badan Eser seraya berbisik, "Mau di bawa kemana sih?"

Eser mengendikkan bahunya seraya menggeleng lemah, laki-laki itu sepertinya lelah dengan perjalanan dadakan pagi ini. Tidak hanya Eser, sepertinya Ethan dan Thanesa pun juga sama saja. Mereka tidak pernah bangun di pagi buta seperti ini, ke tiga sejoli tersebut bangun paling pagi di jam 9.

Krusak-krusuk yang di timbulkan oleh sang kepala suku dan rekannya tersebut, membuat mahasiswa itu menoleh dengan tatapan 'lanjut jalan lagi nih?'

"Lebih cepat lebih baik, kemasi barang kalian kita lanjutkan perjalanan," cetus kepala suku.

Dengusan pelan turut hadir tatkala mendengar perkataan kepala suku. Sudah tidak tahu tempat tujuan, perjalanan lama, bagian mana yang tidak menyebalkan huh?

"Ayo, ayo, ayo. Semangat, bentar lagi menang kita." Perkataan Adam yang berkobar justru mendapat cibiran malas dari Thanesa.

"Dikira perlombaan kali?" katanya pelan.

Rose pun langsung merangkul satu-satunya teman perempuannya di sana dengan diiringi senyum kecut. "Andai ada body lation, mungkin kulitku tidak akan seterbakar ini," ujar Rose.

"Eksotis." Ethan ikut bersuara setelah beberapa saat hanya terdiam.

Rose hanya melirik Ethan sekilas, lalu langsung ikut berjalan di belakang Eser, seraya memegang tas Eser untuk pegangan agar ia tidak terlalu kelelahan.

Setelah perjalanan satu jam lamanya dengan berjalan kaki, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan.

"Stupid, pulang nanti gunakan flyboard saja," keluh Rose yang hampir menangis. Kepala suku yang mendengar ucapan aneh dari Rose langsung menanyakan apa itu flyboard. Tentu saja di jawab lancar oleh Thanesa bahwa itu merupakan alat transportasi hemat biaya. Walaupun sudah di jelaskan dengan baik oleh Thanesa, tetap saja kepala suku masih dilanda kebingungan dan akhirnya menyerah dengan sendirinya.

Sebuah tumpukan batu-batu putih yang membentuk piramida yang sudah sempurna, merupakan pandangan pertama kali dilihat langsung oleh ke lima mahasiswa dari Boston tersebut. Masih belum mereka ketahui apa tujuan sang kepala suku membawa mereka di tempat bersejarah seperti ini. Seraya menunggu apa perintah dari kepala suku, para mahasiswa itu melihat-lihat arsitektur piramida yang terbilang elok ini.

"Namanya Piramida Agung Giza atau Piramida Khufu, di dalamnya terdapat makam dan beberapa lorong yang menyimpan benda-benda raja firaun ke XVI," terang Thanesa, saat setelah membuka jam tangannya yang menyambung langsung dengan info bangunan di depannya.

"Woah, cool," decak kagum dari Ethan membuat teman-temannya yang lain juga mengangguk menyetujui pendapat laki-laki itu.

"Oh ... ada makam Hetepheres," sambung Thanesa lagi.

Impostor In Paradox TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang