Hari Ke - 3

507 71 41
                                    

Mata kuliah hukum waris selesai lebih cepat lima belas menit dari jadwal semestinya, karena Bu Arofah—bu dosen yang selalu memakai sepatu boot ketika mengajar itu, mendadak sakit perut dan harus menghentikan perkuliahan. Jadilah kami punya waktu kosong empat puluh lima menit sebelum kelas berikutnya.

Aku menyempatkan mampir ke ruang sekretariat BEM untuk mengembalikan helm yamg dipinjamkan kak Ditya padaku kemarin. Saat menaruh helm di atas meja dan meninggalkan catatan sticky notes di atasnya, kak Ditya masuk ke ruangan.

"Loh Mima, ngapain di sini bukannya masih kelas?" tanyanya.

"Enggak Kak, udah selesai tadi. Ini aku cuma mau kembaliin helm, takut nanti nggak sempet."

"Ih, ngapain buru-buru banget, nanti-nanti juga nggak apa-apa kembaliinnya, lagian siapa tau kamu mau pulang bareng aku lagi," canda kak Ditya lalu menyunggingkan senyum manis di wajahnya.

Masya Allah. Batinku.

"Bercanda kan, Kak?" tanyaku.

"Aku serius."

Ya Tuhan.

Aku berdeham berkali-kali, serta mengingatkan diriku untuk mengatupkan bibir rapat-rapat agar tidak terlihat terlalu tampak sedang melongo ketika memandang lekukan rahang dan hidung kak Ditya yang terlihat sempurna itu.

"Mim..," panggilnya.

"Iya, Kak?"

"Nanti istirahat siang, temenin ke sekretariat BEM FT ya? Ada perlu sedikit sama mereka untuk urusan LDKM."

"Oh, boleh, nanti kabarin aja kalau sudah mau berangkat Kak," pintaku.

"Oke," sahutnya. "Oh iya, Mim."

"Iya."

"Helm ini nggak usah dikembaliin juga nggak apa-apa," katanya.

Aku mengerutkan kening masih tak paham apa maksudnya.

"Jangan gitu Kak, aku nggak mau dicap sebagai adarusa."

"Adarusa? Apa tuh? Adanya ada Ditya di sini."

Aku terkekeh.

"Itu Kak, orang yang meminjam barang, tapi nggak mau kembaliin."

Kak Ditya tersenyum. "Kalau suatu saat yang dipinjam itu hati, nggak usah dikembalikan ya, Mim."

Lalu dia terkekeh ringan, kemudian tertawa lepas seperti geli dengan ucapannya sendiri, lalu beranjak pergi sambil masih tertawa tanpa berkata apapun. Sementara aku, hanya tergelak diam sambil mencerna kalimat yang dia bilang baru saja.

"Memangnya dia mau meminjamkan hatinya buatku?" gumamku.

🐧🐧🐧

Ruang sekretariat BEM Fakultas Teknik tak serapi ruangan seketariat kami, aku bisa menghidu sisa-sisa bau tembakau yang dibakar kala aku melangkahkan kaki ke dalamnya. Tak begitu luas, juga tak begitu banyak barang, hanya ada dua meja, empat kursi lipat, karpet yang sudah berlubang serta kasur gulung Palembang yang digulung sembarang di sudut ruangan serta bantal yang sudah kumal.

Kenapa bisa ada bantal dan kasur di ruangan sekretariat? pikirku.

"Raditya my man!" sorak sebuah suara yang sontak membuatku menoleh.

Seorang cowok jangkung, putih dan kurus masuk ke dalam ruangan sekretariat. Aku memperhatikannya dari ujung kepalanya hingga kaki. Dia mengenakan kaus turtle neck hitam dan celana jeans biru tua yang warnanya sedikit pudar, rambutnya yang sedikit panjang di bagian depan di sisir rapi sehingga tak menutupi matanya.

28 Hari Mencari Cinta [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang