Hari ke - 18

253 60 4
                                    

Semua teka-teki ini membuat sakit kepala seperti kumpulan tali yang buhulnya* diikat mati dan sulit untuk dilepaskan saking kusutnya. Banyak sekali hal baru bermunculan, tapi satu yang pasti sang penulis surat mulai menampakkan identitasnya. Terlebih lagi, dengan bantuan kak Tazky satu petunjuk makin terbuka.

Seperti biasa, setiap hari saat kuputar kunci kombinasi loker ada perasaan menggebu yang tak bisa dijelaskan. Aku seperti anak remaja yang selalu menunggu surat cinta setiap hari, padahal aku sudah tahu kalau kak Tazky yang menyelipkan surat ini kemarin. Aku menghela napas panjang, lalu mengembuskannya secara perlahan, menghitung sampai tiga dalam hati sebelum membuka pintu loker. Saat kulihat sebuah amplop biru terjatuh dari dalamnya, saat itulah kurasakan pipi ini tertarik membentuk senyuman.

Tanpa menunggu, aku segera membuka amplopnya dan mengeluarkan isinya. Secarik kertas berwarna cokelat usang dengan tulisan tangan yang sama...

Bintang,

Kamu tau nggak? Kalau rona merah senja tak pernah gagal membuatku kagum. Aku tak paham mengapa, tapi jika aku harus memilih pagi atau senja, maka akan kupilih senja, karena setelah senja pasti malam datang membawa bintang.

Bintang,

Bila pada waktunya kamu adalah orang yang aku cari, untuk mengisi kekosongan hati. Maka ijinkan aku untuk menjadi bagian dalam kenanganmu. Sebagaimana kamu pernah menjadi bagian dalam kenanganku.

Aku, pengagum rahasiamu.

Aku menyandarkan tubuh di loker dengan senyuman yang tak pudar layaknya orang yang baru pertama kali kasmaran. Benar-benar gila, aku pasti sudah gila karena jatuh cinta pada tulisan ini.

Who are you, wahai secret admirer? Nanti sore, kita akan segera bertemu. Karena kemarin, aku bilang pada kak Tazky untuk sampaikan ke pengirim surat ini untuk menemuiku di lantai teratas gedung kampus ini. Tempat di mana dia katanya pertama kali melihatku lagi setelah berjarak sekian tahun.

🐧🐧🐧

"Gue temenin ya?" Dira menawarkan diri.

"Nggak perlu," tolakku. "Kalau dia tahu gue ada yang temenin, nanti dia malah nggak mau ketemu gue gimana?"

"Masalahnya kita nggak tau siapa yang bakal dateng, Min?" Dira khawatir.

"Gimana sih? Kita kan udah tau siapa yang bakal dateng nanti sore, palingan salah satu kakak tingkat, kan? Lagi pula kak Tazky udah kasih tau siapa-siapa aja nama anak FH yang ngekos di Kepodang."

"Serius udah tau?"

Aku mengangguk bersemangat. "Ya palingan salah satu di antara mereka, kan?"

"Tapi Min, masalahnya--"

"Apa sih Dir?" potongku. "Lo terlalu paranoid, ah!"

"Bukan itu, tapi..." lirih Dira.

"Apa? Kalo ngomong yang jelas kenapa sih Dir? Jangan tapi-tapi terus dari tadi!" protesku.

Aku tersenyum, melihat Dira seperti ini aku jadi gemas. Karena tidak biasanya--ralat, bahkan dia belum pernah menunjukkan kekhawatirannya kecuali saat itu, saat setelah kecelakaan terjadi.

"Gue nggak peduli meskipun lo larang gue untuk temenin lo ketemu orang itu. Gue akan tunggu di bawah nanti, kalau ada apa-apa panggil gue."

"Siap, Bos! Lagi pula, nggak akan ada apa-apa nanti," kataku dengan percaya diriku yang seratus persen ini.

______

Setelah mata kuliah terakhir selesai, aku menuju ke lantai teratas gedung kampusku, yang lantainya selalu kosong. Seperti pesan yang sudah kukatakan ke kak Tazky untuk disampaikan ke si pengirim surat misterius, seharusnya aku bertemu dengannya pada pukul lima.

Jam di pergelangan tanganku menunjuk ke angka lima lewat lima menit. Orang itu, siapapun dia belum menampakkan batang hidungnya. Mungkin sebentar lagi, aku akan tunggu sebentar lagi sampai dia datang.

Langit mulai merona jingga, suara burung yang terbang rendah karena ingin kembali ke sarangnya terdengar di telinga. Melirik ke pergelangan tanganku, jarum panjang di dalam benda bulat itu menunjuk ke angka tujuh. Itu tandanya sudah tiga puluh menit lebih aku menunggu, tapi yang kutunggu belum juga terlihat.

Merasa lelah, aku duduk di salah satu anak tangga dan memeluk lutut serta mengistirahatkan kepalaku di atasnya. Perlahan semuanya menggelap, hari sudah berganti malam lampu-lampu koridor sudah dinyalakan oleh petugas penjaga gedung, jam di layar ponselku menunjukkan angka enam. Itu artinya, sudah satu jam aku menunggu tapi yang kutunggu tak datang.

Dengan langkah gontai, aku memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Memutuskan untuk kembali saja ke kosan. Namun saat baru akan menuruni satu persatu anak tangga, aku mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahku, sedikit tergesa berlari melewati anak tangga dari lantai bawah menuju ke lantai atas.

Secercah harapan memenuhi dada, mungkinkah itu dia?

Saat suara semakin dekat, perasaan senang memenuhi hati ini, aku merasa bersemangat kembali. Saat suara itu mendekat, sosok yang kukenal berdiri di hadapanku dengan senyum tersungging dari bibirnya.

"Ayo, pulang!" ajaknya. "Ngapain kamu sendirian di sini, Mim?" tanyanya.

"Kak Ditya, kenapa bisa ada di sini?" tanyaku.

"Tadi Dira bilang katanya kamu masih ada di atas sini, aku jadi khawatir makanya aku susul."

"Dira mana, Kak?"

"Sudah diantar pulang Lucky tadi. Dira tadi pesan, supaya aku mau bujuk kamu pulang." Kak Ditya menjulurkan salah satu tangannya. "Ayo, aku antar."

Aku meraih telapak tangannya.

Ada senyum getir di wajah kak Ditya yang tak bisa kuartikan saat aku menyentuh telapak tangannya.

"Mim..." panggilnya.

"Iya Kak?"

"Jangan menoleh ke belakang lagi!" pintanya. "Karena di depan sudah ada yang pasti menunggu kamu."

"Siapa?"

"Aku."

.bersambung.

___
Buhul = simpul atau ikatan

28 Hari Mencari Cinta [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang