Hari Ke - 6

355 69 21
                                    

Jenita dan Dira saling bertukar anggai melalui lirikan mata ketika aku memperlihatkan surat kelima.

"Aku ulangi supaya aku paham," sela Nabila—salah satu teman kosan kami yang menempati lantai tiga. "Kemarin waktu diskusi LDKM si Haikal memanggil kamu Bintang?" tanyanya.

Aku hanya mengangguk.

"Itu artinya yang kirim semua surat ini kak Haikal?" ujar Riana bertanya sambil melemparkan kesimpulannya.

"Nggak bisa disimpulin begitu sih, Na," sahut Adel. "Dari mana Haikal tau kalau loker Jasmine ada di lantai tiga?"

"Iya," sahutku. "Gue aja baru kenal dia kemarin," kataku.

"Lagi pula, di surat sebelumnya si penulis surat bilang kalau dia pernah satu kelas sama Jasmine, udah fix anak FH ini pengirimnya, Haikal kan anak FT nggak mungkin lah dia," terang Jenita.

"Tapi ini, coba deh baca!" seru Dira. "Dia bilang kenal Jasmine dari kecil. Min, coba lo inget-inget lagi, dulu benar-benar pernah kejadian seperti di surat ini?"

"Nggak tau, gue udah lupa."

"Oke, gue paham sekarang!" seru Icha sambil mengunyah keripik singkong bermerek Orangutan yang di bungkusnya ada foto wajah suami istri public figure paling terkenal se-Indonesia.

Icha lalu mengelap sisa-sisa keripik singkong di tangannya dengan selembar tisu yang ada di pangkuannya. Dia beranjak berdiri menuju kamarnya, lalu keluar dengan membawa selembar kertas HVS kosong dan pensil di tangannya.

"Oke, kita mulai pelajaran logika, sekarang tulis ciri-cirinya di sini," ungkap Icha.

"Ciri-ciri apaan sih, Cha?" tanya Dira masih bingung.

"Sabar," kata Icha sembari tetap serius menuliskan sesuatu di atas kertas HVS.

Aku yang melihatnya juga ikut penasaran, kira-kira Icha menuliskan apa di sana.

"Nih!" serunya kemudian menjelaskan kepada kami semua, "Kalau sesuai surat yang selama ini udah diterima sama Jasmine, paling enggak ada enam petunjuk yang kita punya, pengirim anak FH, dia kakak tingkat, pernah mengulang matkul Hukum Pidana sama Jasmine, bukan anak FT, bukan Haikal, yang terakhir sudah pernah kenal sama Jasmine sebelum kuliah," terang Icha.

"Kamu nggak bisa inget kira-kira siapa lagi teman sekolah kamu yang kuliah di FH, Min?" tanya Nabila.

"Ada banyak sih, tapi—" Aku menahan kalimatku karena bingung. "Dia bilang ketemu belasan tahun kemudian, artinya apa?"

"Mungkin aja teman waktu SD!" tebak Adel.

"Hmm.., dulu gue pernah SD di Jakarta sampai kelas tiga, setelah itu gue sekeluarga pindah ke Bandung soalnya bokap gue ditunjuk sebagai peneliti di Observatorium. Gue masih inget siapa-siapa aja teman sekolah gue, bahkan siapa-siapa aja kakak kelas waktu itu, yang masuk FH pun gue rasanya tau. Kayaknya nggak mungkin sih kalau mereka," Jelasku.

"Ya kalau gitu teman SD di Jakarta," terka Dira. "Jen, udah saatnya ditunjukin kayaknya."

"Tunjukin apa?" tanyaku.

"Jadi kemaren tuh, gue nanya-nanya ke petugas keamanan kampus kita, kira-kira memungkinkan atau nggak kalau gue minta salinan rekaman video CCTV. Ternyata boleh." Jenita menerangkan.

"Kok bisa?" Nabila bingung.

"Bisa, soalnya, hmm.., sebut aja gue kenal orang dalem, makanya gue bisa dapet copy-an rekaman CCTV."

"Lo jangan-jangan anak rektor ya?" tuduh Adel.

"Bukan," bantah Jenita.

"Kalau bukan, kok bisa?" tanya Adel lagi.

"Ih, udah yang penting mau liat videonya nggak nih?" kesal Jenita.

"Mau!" sahut kami berbarengan.

Di depan layar berlogo apel digigit itu, kami semua duduk memperhatikan dengan serius isi rekaman video di dalam kepingan cakram padat yang diperoleh Jenita dari petugas keamanan kampus. Rekaman video itu menampilkan kondisi lorong lantai tiga kampusku di hari tepat aku menerima surat pertama. Memang tidak terlalu ramai di sana, kecuali ketika ada perkuliahan di ruang kelas di lantai itu.

Menit berikutnya yang ditampilkan video, ada seseorang yang sedang berjalan ke arah loker, mengendap-endap melihat ke kanan dan kirinya. Orang itu  memakai jaket berkapucon, masker dan kacamata hitam.

Ah, pintar sekali. Batinku

Sepertinya dia tau kalau di lantai itu ada kamera CCTV yang bisa merekam gerak-geriknya. Tubuh orang itu tinggi, aku bisa perkirakan tinggi tubuhnya melebihi tinggi kak Ditya karena ketika dia mendekat ke arah loker, ujung kepalanya melebihi tinggi loker.

Namun sayang sekali tidak terlihat wajahnya. Hari berikutnya, karena surat sudah berada di dalam tasku,  sehingga tidak ada rekaman untuk surat kedua. Surat ketiga hingga kelima rekaman juga tetap sama, menampilkan sosok berjaket kapucon mengenakan masker dan kacamata hitam.

Tidak ada petunjuk yang jelas, hingga di akhir video sebuah rekaman menampilkan sesuatu. Sang pengirim surat berkapucon tanpa sengaja melepas maskernya untuk berbicara dengan seseorang di sana. Meskipun wajah sang pengirim surat nampak tak terlalu jelas, tapi tidak dengan lawan bicaranya...

Kak Ditya.

.bersambung.

28 Hari Mencari Cinta [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang