Hari Ke - 8

355 62 15
                                    

"Ibu ini udah nggak anom lagi, Dir," ucap ibu Rudi—ibu kos kami yang juga merupakan ibu kandung Dira. "Ibu paham kalau anak gadis ibu udah mulai suka sama lawan jenis."

Ibu Rudi dengan sabaran melipat-lipat daun sirih lalu memasukkannya ke dalam lubang hidung Dira yang tadi mimisan. Ada rona merah di pipi Dira setelah mendengar ucapan ibunya. Aku yang ikut mendengarnya rasanya juga ikut malu. Bagaimana tidak, pasti sangat malu jika membicarakan urusan hati dengan orang tua, apalagi dengan seorang ibu.

"Tapi inget Nduk, kalau pacaran tetep harus mentingin sekolah. Kuliah harus selesai, nilai harus tetap bagus, jangan gara-gara pacaran nanti nilaimu jeblok!" nasihat ibu Rudi.

"Aku nggak pacaran, Bu," bantah Dira. "Gimana aku mau pacaran, wong kak Tazky yang aku taksir aja anti pacaran."

Ibu Rudi membelai rambut anak perempuan sulungnya itu dengan sayang. "Yo wiss, cowok kan ndak cuma Tazky, toh? Lagi pula sing penting itu belajar, cowok nomor dua."

Aku melihat Dira memanyunkan bibirnya mendengarkan nasihat ibunya, sementara aku dan Nabila yang sedari tadi duduk di sana hanya saling pandang sambil menahan senyum melihat ekspresi Dira. Sebagai anak sulung, pastinya kedua orang tua Dira punya harapan besar terhadapnya. Aku bisa memahami cara berpikir ibu Rudi, karena apa yang dikatakan beliau pernah juga disampaikan oleh ibuku ke kakakku saat itu. Aku, sebagai anak kedua yang saat itu masih duduk di bangku SMP kala kakakku masuk universitas hanya bisa mendengarkan dengan seksama.

Kakakku yang penurut itu saat ini sedang melanjutkan gelar masternya di Malaysia, dia memperoleh beasiswa dari perusahaan minyak terbesar di Negeri Jiran itu. Bagaimana kedua orang tuaku tak bangga terhadapnya, lulus ITB teknik perminyakan dengan status cum laude, lalu tak berapa lama dipinang oleh sebuah perusahaan minyak yang satu tahun kemudian memberinya beasiswa penuh untuk melanjutkan strata dua.

Dulu aku pernah nyaris mengikuti jejak ayah dan kakakku untuk memilih kuliah di kampus dengan lambang Ganesha itu, tapi hatiku berkata lain. Aku ingin mendobrak tradisi keluarga yang turun temurun sejak jaman kakek buyutku berkuliah di sana, aku ingin menjadi diriku sendiri dan mengikuti apa yang menjadi impianku, bukan hanya sekedar mengikuti kemauan dan ambisi ayah. Saat itu, mungkin ayahku tahu kalau sifat keras kepalaku ini menurun dari beliau, maka dari itu, ketika tekad ini sudah bulat ayah tak lagi memaksakan kehendaknya padaku.

"Min," panggil Nabila mengembalikan atensiku. "Aku balik ke kamar ya, mau maghriban."

"Oke," sahutku.

"Kamu nggak maghriban?" tanyanya.

"Aku lagi halangan," jawabku.

"Oke, duluan ya!" pamitnya.

"Iya, Bil."

Dira menghampiriku yang duduk di ruang tamu rumahnya, dengan langkah gontai dan tangan yang terus menerus mengelap ke bawah hidungnya dengan selembar tisu yang bentuknya sudah tak karuan. Daun sirih pemberian ibunya masih menyempil di lubang hidungnya.

"Nabila balik ke kamarnya?" tanya Dira.

"Iya, mau maghriban katanya."

"Lo nggak maghriban?" tanya Dira.

"Lagi dapet," jawabku.

"Sama."

Kami duduk dalam diam untuk beberapa lama, Dira yang sekarang duduk di sampingku ini adalah satu-satunya teman seangkatan yang aku kenal dekat sejak ospek ketika itu. Saat itu, aku yang baru tiba dari Bandung dan tak kenal siapa-siapa selain kak Ditya dan senior lain dari SMA 5 Bandung mendadak home sick, karena kaget dengan kebiasaan anak ibu kota. Namun ada Dira, si anak ibu kos yang ramah ini dengan baik hatinya mau menemaniku ke mana pun, membuat aku yang home sick ini lama-lama menjadi terbiasa.

28 Hari Mencari Cinta [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang