Hari Ke - 22 | Kenangan Dira

286 54 6
                                    

Beberapa bulan yang lalu...

"Guys..."  lirihku bersusah payah karena leher ini rasanya seperti tercekik setelah menerima kabar yang sangat mengejutkan.

Semua pandangan mata tertuju padaku, menungguku mengucapkan sesuatu. Ponsel yang semula kugunakan untuk menerima telepon seseorang tergenggam erat di tanganku. Aku yakin sekali layarnya kini sudah basah oleh keringat dari telapak tanganku.

"Kenapa Dir?" tanya Jenita dengan kernyitan di dahinya.

Saat ini, di kos-kosan penghuninya hanya tinggal berlima karena yang lain menghabiskan libur semester kembali ke kampung halaman. Hanya ada Jenita, Nabila, Marie dan Icha yang belum pulang ke rumah orang tua mereka dan memutuskan tinggal beberapa hari di kos-kosan juga Jasmine yang berencana pulang ke Bandung besok dengan kereta siang. Namun gadis itu, setelah tadi pagi pamit untuk mampir ke kampus belum juga kembali, hingga aku mendengar berita...

"Barusan Aisha, adeknya Jasmine telepon gue."

Aku diam sejenak mengambil napas panjang untuk menenangkan hati.

"Lalu?" tanya Marie.

"Kata Aisha, Mimin kecelakaan berdua Jodi di jalan tol Simatupang. Mobilnya rusak parah..." Aku tak sanggup melanjutkan.

"Jasmine sama Jodi kondisinya gimana?" Nada khawatir keluar dari ucapan Nabila.

"Luka parah, dua-duanya luka parah," ungkapku. "Cuma itu yang bisa dibilang Aisha tadi di telepon, dia juga belum tau kondisi kakaknya, karena posisinya dia masih di Bandung, sekarang baru mau berangkat ke Jakarta."

"Aisha tau dari mana?" tanya Marie.

"Kata Aisha, budenya yang kasih kabar. Untungnya di ponselnya Jasmine dia simpen nomor budenya sebagai kontak darurat pertama."

"Terus sekarang kita mesti gimana?" tanya Adel. "Ke rumah sakit aja apa gimana ini?"

"Iya, kita ke rumah sakit sekarang," jawabku.

Tubuhku bergetar, pikiranku kalut tak karuan. Bagaimana tidak, teman baikku itu sedang berjuang mempertaruhkan nyawanya saat ini. Bukannya turun ke rumah untuk setidaknya berganti pakaian, aku malah duduk tak beranjak.

"Dir..." lirih Nabila. "Jangan bengong, ayo sekarang Dira ganti baju, bawa barang-barang yang perlu, aku yang akan pesen taksi online-nya," saran Nabila begitu bijak.

Aku menatap gadis berhijab itu lalu mengangguk patuh. Berdiri dan berjalan dengan langkah gontai, turun ke lantai bawah—rumahku, masuk ke kamar, berganti pakaian membawa dompet dan payung karena cuaca sedikit mendung.

Mobil yang dipesan Nabila tiba di depan rumah sepuluh menit setelah dipesan.

"Pesanan kak Nabila ya?" tanya sang supir.

"Iya Pak!" jawab Nabila dan Adel berbarengan.

Kami semua naik, Marie duduk di depan, aku, Nabila, Adel dan Jenita berhimpitan di kursi belakang di dalam mobil yang hanya menyediakan lima kursi penumpang ini.

Hampir satu jam--karena jalanan begitu macet, kami tiba di Rumah Sakit Pondok Indah. Seperti hilang arah, kami tak tahu harus ke mana, karena tidak ada yang memberi tahu posisi teman kami. Lalu dengan inisiatifnya, Jenita bertanya ke petugas keamanan rumah sakit.

"Pak, tadi ada ambulance yang antar korban kecelakaan nggak?" tanyanya.

"Kayaknya ada, Neng," jawab sang petugas.

"Terus dibawa ke mana Pak pasiennya?"

"Saya kurang tau Neng, tapi biasanya kalau korban kecelakaan langsung dibawa ke IGD, Neng coba tanya di sana ya?" saran bapak petugas.

28 Hari Mencari Cinta [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang