Hari Ke - 24 | Ingatanku 2

262 56 0
                                    

"Kamu mau nggak jadi pacar aku?"

Kami sedang mendaki di Gunung Pancar dan duduk berdua di atas sebuah batu besar sambil menatap panorama lembah di bawah kami saat Jodi bertanya itu.

Aku refleks menoleh, bukan karena pertanyaannya tetapi penggunaan kata ganti yang diucapkannya. Dia, yang selama ini menggunakan 'gue dan lo' saat berkomunikasi denganku, kali ini menggantinya dengan kata 'aku dan kamu'.

"Kok tumben?" tanyaku.

"Hah tumben?" Dia bingung. "Apanya yang tumben, masa ngajak kamu jadi pacar aku tumben?"

"Kok tumben pakai aku-kamu, biasanya gue-lo?"

"Kamu tuh, ih..." Dengan gemasnya dia memegang kedua pipiku dengan dua tangannya. "Gemes tau nggak? Aku lagi deg-degan gini kamu malah tanya hal yang random?"

Aku terkekeh. "Maaf Kak," ucapku.

Dia tersenyum lalu menyentuh pucuk kepalaku untuk diusapnya perlahan. Benar kata orang, cewek itu paling suka kepalanya diusap.

"Nggak apa-apa, kalau kamu belum bisa jawab sekarang, aku tau kamu masih bingung." Lalu dia melanjutkan, "Tadinya mau aku bilang pas malam pergantian tahun, pas acara bakar-bakar jagung nanti, tapi kalau bisa diungkap sekarang kenapa harus nanti?" ungkapnya lalu tersenyum.

Senyumnya, meskipun tak semanis senyum kak Ditya nyatanya selalu sanggup membuat diri ini terpana. Lalu, sikap hangat dan humorisnya yang mampu membuat mood menjadi lebih baik membuat aku begitu nyaman dekat dengannya.

Nyaman.

Apa rasa nyaman dengan seseorang bisa dijadikan alasan untuk menerima perasaan seseorang? Padahal jika kuhitung dengan hari, ini baru satu minggu sejak surat misterius terakhir aku terima, dan aku bertemu dengan dia yang membawa buket mie instan goreng. Bukankah terlalu cepat jika dia menyatakan perasaannya sekarang?

________

"Lo jawab apa?" tanya Dira ketika aku cerita kalau Jodi menyatakan perasaannya kepadaku.

"Belum gue jawab, Dir."

"Kenapa?" tanya Icha menimpali.

Aku menggeleng. "Nggak tau. Masih ragu aja."

"Ragu kenapa?" tanya Icha lagi.

Aku tak menjawab.

Banyak yang tidak menyadari kalau sudah sejak lama aku begitu naksir kak Ditya, tapi cowok ganteng itu tak pernah memandang aku sebagai lawan jenis yang menarik perhatian dia. Kenal kak Ditya sejak SMA, dia cuma anggap aku seperti adiknya sendiri. Apalagi, ketika kuliah dan sama-sama jauh dari keluarga, membuat kami lebih terlihat saling menjaga layaknya saudara dibandingkan dua orang yang saling suka.

Makanya, saat ada kesempatan hanya berdua dengan kak Ditya aku bilang padanya, kalau Jodi menyatakan perasaannya padaku. Aku ingin tahu bagaimana reaksinya, mungkin saja dia pada akhirnya merasa tersaingi dan sadar sehingga dia juga menyatakan perasaannya padaku. Namun setelah kuceritakan dan reaksinya biasa saja, aku semakin yakin kalau kak Ditya memang sejak dulu tak memiliki perasaan apapun kepadaku.

Memendam rasa begitu lama tapi tak terbalas seperti berhadapan dengan sebuah impase-kebuntuan, karena tak bisa melangkah maju. Pilihannya hanya satu, mundur dan mencari jalan lain. Sehingga saat malam pergantian tahun dan kami semua merayakannya di sebuah villa pinjaman salah satu anggota BEM, aku bilang ke Jodi kalau aku mau jadi pacarnya.

"Kak..." panggilku ketika melihat Jodi berdiri di dekat kisi-kisi balkon villa seorang diri sembari memegang segelas kopi panas yang baru diseduhnya.

"Iya?" sahutnya.

"Aku mau jawab pertanyaan Kakak waktu itu," ucapku tanpa basa-basi.

"Iya?"

"Aku mau Kak, jadi pacar Kakak," ungkapku.

"Serius?" tanyanya.

"Serius Kak."

Kemudian Jodi bersorak, begitu girangnya. "Guys, gue punya pacar! Wohooo!" Dia melanjutkan lagi, "Bintang mau jadi pacar gue!"

Seruannya terdengar hingga ke bawah, karenanya teman-teman kami yang ada di teras bawah sedang membakar sate dan jagung ikut bersorak menimpali, begitu juga dengan kak Ditya yang ikut tersenyum melihat kebahagiaan temannya.

Aku melirik jam di pergelangan tanganku, satu menit menuju tahun baru, tiga puluh satu Desember dua ribu sembilan belas aku resmi pacaran sama Jodi. Mencoba melupakan perasaan yang tak kunjung berbalas dan meraih genggaman tangan yang lain yang menungguku di depan mata.

Karena perasaan perlahan datang karena terbiasa, bukan?

. bersambung.

28 Hari Mencari Cinta [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang