Hari Ke - 20

316 62 11
                                    

Ketika sedang mencoba menulis paper tentang konstelasi politik Eropa, di kepalaku sekarang malah mengingat konstelasi Auriga atau rasi bintang Auriga. Auriga, nama itu terngiang-ngiang di kepala ini setelah Adel dan Nabila membuka informasi, juga setelah membaca surat terbaru kemarin. Jika memang dia sang penulis surat dan pernah kuliah di kampus ini, mengapa aku sama sekali tak memiliki ingatan tentang dirinya?

"Ya, wajar. Di kampus kita muridnya ada banyak, gue juga nggak kenal semua anak satu angkatan apalagi kakak tingkat," kata Icha tadi siang ketika pembahasan Auriga menjadi topik hangat.

Tadi pagi sebelum mulai masuk kelas, Jenita dengan koneksi orang dalam yang tak ingin disebutkan namanya itu mencari informasi baru tentang Auriga di bagian tata usaha kemahasiswaan. Berdasarkan informasi, benar bahwa cowok yang bernama Auriga ini sudah hampir satu semester tidak lagi melanjutkan kuliah. Dia mengundurkan diri menjadi mahasiswa kampus kami, semenjak enam bulan lalu yang konon kabarnya karena sakit.

Apabila perkiraanku benar, penghuni kos-kosan Jalan Kepodang yang keluar karena tak lagi bisa melanjutkan kuliah dan saat ini kamarnya ditempati oleh kak Tazky adalah dia yang bernama Auriga ini. Namun yang aneh jika memang kak Tazky tidak mengenal Auriga, bagaimana mungkin dia mau membantu cowok itu mengantarkan setiap surat-surat itu padaku? Mungkinkah, kak Tazky sengaja menyembunyikan fakta ini termasuk nama Auriga saat aku bertanya siapa-siapa saja yang tinggal di kosan itu? Tapi buat apa?

Kotak kecil yang kemarin diberikan oleh cewek bernama Kanaya mengalihkan pandanganku dari layar laptop yang sejak lima belas menit lalu hanya kutatap karena benak ini lebih fokus ke hal lain. Sudah kubuka isinya, hanya sebuah cincin biasa polos tanpa ornamen atau hiasan apapun, hanya saja catatan di secarik kertas kecil di dalam kotak itu yang membuatku bingung...

Lihat baik-baik cincin ini.

Sudah kuperhatikan baik-baik, tak ada apapun di cincin itu. Aku pikir tadinya, akan ada sesuatu yang menarik perhatianku tapi nihil. Satu hal lagi yang membuatku tak paham, untuk apa cewek itu susah-susah menemuiku kalau hanya untuk memberikan cincin ini dan apa hubungannya cincin ini dengan hidupku?

Kata Dira, Kanaya bahkan bukan mahasiswa di kampus ini dan yang lebih aneh dari segalanya, dari mana dia tahu kalau aku akan ada di dekat kantin sore itu? Seperti sudah diatur dengan rapi, tapi kenapa dan oleh siapa?

dleb....

Tiba-tiba listrik di kos-kosan kami mati, berikutnya menyusul suara teriakan nyaris dari seluruh penghuni. Apalagi, aku bisa mendengar suara Icha dan Adel yang berteriak nyaris berbarengan.

"Argh, mati lampu! Mamam gue belom ngesave tugas!" teriak Adel dari dalam kamarnya.

"Siapa yang matiin lampu woy, gue lagi boker!" teriak Icha yang nyaris teredam tapi aku masih bisa mendengarnya bahkan dari kamarku.

"Jatoh ini pasti listriknya, komputer nyala semua sih!" Aku mendengar protes Jenita.

"Kak, gara-gara lo nih malem-malem nyetrika, jadi mati kan listriknya?" protes Riana.

"Heh sembarangan, gue udah nyetrika dari sore, enak aja!" balas Jenita.

"Terus kenapa mati?" tanya Riana

"Ya mana gue tau, emangnya gue PLN?"

"Ih, jangan berantem!" Adel ikut berteriak. "Bentar lagi juga nyala."

Aku terkekeh dari dalam kamarku karena kehebohan ini, atensi kukembalikan ke layar laptop lagi karena layarnya masih menyala dan tidak terpengaruh dengan listrik yang mati. Namun dari sudut mataku sesuatu yang bercahaya menarik perhatianku. Cincin, yang tadi sedang kupegang mengeluarkan pendar berwarna turquoise, cincin yang diberikan Kanaya memiliki efek glow in the dark saat gelap yang kebetulan saat ini listrik sedang mati.

28 Hari Mencari Cinta [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang