Hari Ke - 1

1.1K 103 53
                                    

Kisah ini berawal ketika suatu hari aku menemukan sepucuk surat cinta yang sengaja ditinggalkan pemiliknya di dalam lokerku yang berada di lantai tiga gedung fakultasku berada. Sebuah amplop berwarna cokelat itu tak sengaja terjatuh ketika aku menarik buku cetak untuk mata kuliah Hukum Perlindungan Anak dan Perempuan.

Meskipun di koridor itu sepi, aku tetap menoleh ke kanan dan kiriku laksana seorang gorilya yang sedang mengamati keadaan sekitar karena khawatir tindakannya ketahuan. Namun niatku ini justru sebaliknya, berharap ada seseorang di sana, siapa tahu sang pemilik amplop sedang mengamatiku di suatu tempat.

Nihil.

Tak ada siapapun di koridor ini, selain aku dan ibu-ibu petugas kebersihan. Tidak mungkin ibu-ibu itu yang sengaja menaruhnya bukan?

Karena penasaran, aku segera membuka amplop dan mengeluarkan isinya yaitu sebuah surat yang ditulis dengan menggunakan tulisan tangan yang begitu rapi dan begitu menarik perhatianku, tidak banyak kalimat yang tertulis di sana, hanya sebuah untaian kalimat yang terlampau indah dan membuatku penasaran. Berjalan sedikit, aku menemukan sebuah anak tangga dan duduk di salah satunya sambil membaca tulisan yang ada di kertas itu.

Untuk kamu yang sekarang sedang membaca tulisan ini,

Aku sedang menatap luasnya nabastala kelabu saat pena ini dengan sengaja kugoreskan di atas secarik kertas usang yang kutemukan tak sengaja di laci penyimpanan tua milik kakekku. Rasanya menyenangkan menemukan kertas yang warnanya pudar dan menuliskan apa yang ada dalam benak ini di atasnya. Terutama, saat isi kepala ini berusaha menyusun kata demi kata menjadi sebuah kalimat yang pantas untuk dituliskan.

Mungkin saat ini kamu sedang bertanya-tanya, mengapa surat ini bisa sampai ke tanganmu? Anggap saja, karena aku menginginkannya. Agar aku bisa sampaikan apa yang ingin kuutarakan kepadamu dengan cara yang tak biasa.

Wahai kamu sang pemilik senyum menawan, jangan pernah berhenti bahagia.

Aku, pengagum rahasiamu.

Aku melipat kembali kertas yang ada ditanganku, memasukkannya ke dalam amplopnya lagi dan menyelipkannya ke dalam buku cetak yang sebelumnya kuambil dari dalam loker.

Benakku bertanya-tanya, kira-kira siapa pengirim surat ini apa jangan-jangan surat ini salah alamat?

"Min!" panggil seseorang, membuatku menoleh ketika sapaan namaku diucapkan. "Ngapain duduk sendirian, di tangga? Yuk, kelas!" ajaknya.

Orang yang baru saja memanggilku itu, namanya Dira—anaknya ibu kos tempat aku tinggal. Gadis berpotongan rambut bob yang naksir berat sama ketua Rohis kampus—Tazky Thalius. Padahal kak Tazky punya prinsip lebih baik jomblo dari pada bikin dosa pacaran.

Aku berdiri ketika Dira sudah berada di dekatku, hari ini dia mengenakan jaket berbahan denim dan rok rimpel panjang yang nyaris menutupi mata kakinya.

"Tumben pake rok panjang?" tanyaku.

"Biar dilirik Kak Tazky," akunya sambil malu-malu.

"Tazky mana mau sama yang nggak jilbaban?"

"Mau pasti mau, gue kan cantik paripurna," ucapnya sambil menaruh jari telunjuk dan jempolnya di dagu dan pipinya, layaknya mas-mas jamet yang sedang berpose ketika selfie.

"Ih, kepedean," selorohku lalu tertawa. "Yuk, ah kelas!" ajakku.

"Min?" panggilnya.

"Iya?" Aku menoleh.

"Gue lupa belum kerjain tugas. Gue nyontek yah?" pintanya.

"Hah, kebiasaan!" protesku.

"Boleh dong, please?" bujuknya.

"Iya boleh, tapi ada syaratnya."

"Apa?"

"Gratis uang kos satu bulan." Aku berucap asal lalu tertawa terbahak setelahnya.

"Yah kali, bilang sama nyokap gue kalau itu mah."

"Dir!" panggilku.

"Apa?"

"Tazky, Dir. Tazky!" ujarku terdengar antusias.

"Mana? Mana?" Dira menoleh ke kiri dan ke kanan dengan antusias mencari sosok yang kusebut barusan.

"Ada, di gedung Fakultas Teknik," candaku lalu berlari meninggalkan Dira sendirian di koridor.

"Heh, Jasmine! Jangan lari! Sialan gue dikerjain, sini woy!" teriak Dira marah, lalu aku bisa mendengar langkah kakinya yang berat karena dia—entah mengapa, hari ini lebih memilih memakai wedges dibandingkan flat shoes seperti biasanya yang dia kenakan ketika berangkat kuliah.

Sementara aku, bisa berlari dengan mudah karena menggunakan celana Jeans dan sepatu sneaker putih kesayanganku yang saat ini warnanya sudah kumal dan tak lagi putih, tapi berganti menjadi cream kekuningan karena terlalu sering kupakai. Langkah kakiku terhenti, ketika orang yang baru saja dibicarakan ada di hadapanku, dia memberikan senyuman setelah melihatku.

"Hai!" sapanya.

"Hai, Kak!" sahutku.

"Kalau ruang sekretariat Bem Fakultas Hukum ada di mana, ya? Tadi saya dikasih tau katanya di lantai dua."

"Oh, Kakak salah lantai. Ini lantai tiga, Kak," jawabku. "Kakak turun aja satu lantai, nanti belok ke kanan terus ruangannya ada di ujung koridor, pintunya warna merah beda sendiri. Hmm.., sama di depannya ada tulisan sekretariat BEM," terangku.

"Oh, gitu. Terima kasih, ya."

"Sama-sama, Kak."

"Jasmine! Jangan kabur, ke sini! Woy..," ucap Dira yang tiba-tiba melemahkan nada suaranya ketika mengucapkan kata 'woy'. "K-Kak Tazky?" ucapnya gelagapan.

Sang pemilik nama menoleh sambil mengulas senyum manisnya. "Hai!" sapanya kepada Dira yang membeku di tempatnya berdiri. "Terima kasih sekali lagi," ucapnya kepadaku yang kubalas dengan anggukan.

"K-Kak Tazky?" ulang Dira masih gelagapan.

"Dir, lo baik-baik aja?" tanyaku sembari melambaikan tangan di depan wajahnya. "Dir?" tanyaku sekali lagi.

Dira menoleh, senyum jelas merekah di wajahnya.

"Tadi kak Tazky?" tanyanya.

"Iya tadi kak Tazky," jawabku membenarkan. "Yuk kelas!" ajakku.

"Ganteng banget!" serunya.

Aku menoleh untuk melihat Dira yang tak beranjak dari tempatnya berdiri.

"Dir!" Mataku membulat melihat cairan merah meluncur halus di atas bibir mungil temanku itu "Hidung lo mimisan!"

.bersambung.

Tazky Thalius

Si ketua Rohis yang berhasil bikin Dira mimisan :D

_______
Tulisan ini dibuat dalam rangka tantangan menulis yang dibuat oleh Diary Literasi.
Saya bersama dengan member Diary Literasi akan memberikan cerita yang akan di update setiap hari selama bulan Februari. Doakan semoga istiqomah ya bisa up setiap hari.

28 Hari Mencari Cinta [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang