Hari Ke - 9

345 65 11
                                    

Pagi yang mendung serta isak tangis keluarga terdengar di mana-mana, juga isak tangis adikku yang tangannya tak lepas menggenggam telapak tanganku ketika mengikuti proses pemakaman Yang Ti. Pemakaman yang khidmat itu dilakukan dengan upacara militer, suara tembakan dilepaskan berkali-kali mengantarkan kepergian Yang Ti ke peristirahatan terakhirnya di Taman Makam Pahlawan Cikutra. Saat masih muda dulu, Yang Ti aktif sebagai pengajar di Akademi Militer dengan pangkat terakhirnya letnan kolonel dan pernah beberapa kali mendapatkan bintang tanda jasa dari Presiden pada masa itu.

Sosok riang yang selalu membawakan kami oleh-oleh cokelat Silverqueen itu kini sudah tiada, meninggalkan kenangan. Aku melihat wajah kedua orang tuaku yang sembab, karena air mata tak hentinya mengalir dari kedua sudut mata mereka. Bahkan kepada Ibuku, sosok Yang Ti begitu hangat seperti ibu kandung kepada anak perempuannya. Tak pernah sekali pun Ibuku melepas hormat kepada Yang Ti yang dicintainya itu. Pernah suatu ketika, Ibu meminta kepada Ayah agar mengajak Yang Ti untuk tinggal di rumah kami karena kondisinya yang sudah tua dan tinggal sendirian di rumahnya di Gegerkalong. Namun Yang Ti menolak karena tak ingin merepotkan anak dan menantunya. Akhirnya, dengan bujukan ayah, Yang Ti mau menerima seorang asisten rumah tangga untuk menemani Yang Ti tinggal di rumahnya yang besar itu.

Pulang dari pemakaman, kami kembali ke rumah Yang Ti, pelayat masih banyak yang berdatangan. Ayah dan tante Karin—ibunya Dery, yang merupakan adik kandung ayah menyambut beberapa pelayat yang datang.

"Kakak kamu tadi telepon, dia sedih nggak bisa pulang karena ada ujian," ucap Ibuku ketika duduk di sebelahku.

"Oh," jawabku malas.

"Kalau kamu mau pulang hari ini, pak Gun siap antar kamu sampai Depok, atau kamu mau pulang naik kereta aja?" tanya Ibu.

"Kakak pulang besok aja, boleh nggak?" tanya Aisha yang tiba-tiba ikut duduk di sebelah ibu. "Aku masih kangen sama Kakak," akunya.

Aku tersenyum menatap adikku yang masih SMA kelas satu itu.

"Ya udah aku pulang besok, tapi harus pagi-pagi, soalnya aku ada kuliah jam sepuluh."

"Nggak istirahat dulu Kak, di kosan? Capek, kan?" anjur Ibu.

"Capek sih kayaknya, tapi aku ada kuis, Bu. Sayang kalau dilewatin, nanti nilainya kurang."

"Ya udah terserah kamu aja," jawab Ibu. "Sekarang bantuin Ibu, Yuk! Tolong ambilin bekas-bekas gelas air mineral terus bawa ke belakang biar dibuang sekalian," pinta Ibu.

Aku dan Aisha menurut, kami berdua mengumpulkan bekas gelas air mineral untuk dibuang. Tak lama Dery datang, membawa kantung sampah besar berwarna hitam dan membantu kami mengumpulkan gelas-gelas plastik itu. Pelayat masih berdatangan hingga malam, setelahnya kami beristirahat. Ayah dan Ibu sengaja menginap di rumah Yang Ti, sementara aku dan Aisha pulang ke rumah kami.

Kamar tidurku di kediaman kedua orang tuaku di Jalan Setiabudi masih tampak sama, tidak ada yang berubah meskipun aku hanya pulang saat libur semester, lebaran atau tahun baru. Ada meja belajar kecil di sudut ruangan yang dulu selalu kuhabiskan waktuku di sana, juga beberapa barisan novel lama yang kertasnya sudah menguning di rak dinding di atasnya.

Sebuah potongan kertas terjatuh saat aku mengambil salah satu buku novelku, sepertinya kertas itu terselip di salah satu halaman buku. Sebuah nomor ponsel entah milik siapa, tertulis di atas kertas itu. Aku tak bisa mengingat mengapa ada kertas itu di sana, mungkinkah ada yang sengaja menaruhnya? Atau aku yang tanpa sadar menyelipkannya?

Karena penasaran, aku menyentuh layar ponselku untuk memasukkan barisan angka yang tertulis di potongan kertas itu, tapi tidak ada nama yang tertera di layar. Aku tidak kehilangan akal, aku membuka akun Google lamaku, karena dulu aku sempat menggunakan Android sebelum kecelakaan yang membuat ponselku rusak. Dari akun Google-ku, aku mencari nomor kontak yang ada, dan voila! Nomor itu menunjuk ke sebuah alamat surat elektronik...

28 Hari Mencari Cinta [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang