Hari Ke -10

355 64 14
                                    

Dear Bintang,

Kamu tau lirik lagu Jealous?
Sekarang aku paham bagaimana rasanya menjadi pria yang menyanyikan lagu itu.
Dia bilang, dia cemburu pada hujan, karena tetesannya jatuh ke kulit perempuan yang dia suka. Sebagaimana aku cemburu pada dersik yang membelai halus rambutmu.

Bintang,
Jangan bersedih ya, ada aku yang akan menemani.

Aku, pengagum rahasiamu.

______

Semakin hari aku semakin penasaran, jika orang ini begitu-sebut saja misalnya dia menyukaiku, mengapa tak munculkan saja batang hidungnya ke hadapanku?

Memandang satu per satu wajah-wajah mahasiswa yang saat ini ada di kantin, aku menilai di dalam benakku, adakah salah satu di antara mereka yang merupakan pengirim surat ini? Seandainya saja aku bisa mendapat petunjuk yang lebih banyak untuk mengungkap siapa pengirim surat ini?

"Hoy, bengong!" sebuah sapaan santai yang dibarengi dengan tepukan ringan di pundak mengejutkanku.

Icha duduk di sebelahku dengan membawa setumpuk buku yang aku tahu pasti baru dipinjamnya dari perpustakaan.

"Banyak amat ini buku, buat apaan?" tanyaku.

"Mau gue kiloin, ya gue baca lah, masa kiloin," kelakar Icha.

"Yakin lo baca semua? Biasa juga jadi bantal doang," sindirku.

"Enggak sih kalo semuanya, seenggaknya sebagian-lah buat referensi," jawabnya sambil terkekeh ringan. "Ini dosen Hukum Internasional nggak kira-kira ngasih tugas, masa disuruh bikin paper studi kasus laut internasional tapi cuma dikasih waktu tiga hari buat kumpulin. Kira-kira ambil kasus apa ya?"

"Hmm.., bikin tinjauan hukum laut internasional mengenai Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia terhadap kapal asing yang suka ambil ikan di wilayah itu aja. Gampang itu, referensinya banyak," anjurku.

Icha memanggut-manggutkan kepalanya lalu mengacak rambutku, "Emang jago nih sekretaris kesayangannya kak Ditya."

Aku berdecih. "Ih, rambut gue berantakan, Cha!" kesalku.

Lalu dia terbahak di tempatnya duduk.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu di dalam kotak pensilku, secarik kertas dengan barisan angka nomor telepon seseorang. Aku mengambil kertas itu dari dalam kotak pensil untuk kuperlihatkan kepada Icha.

"Tau nggak ini nomor siapa?" tanyaku.

Icha mengerutkan keningnya kemudian menggelengkan kepalanya. "Nggak ada nama yang punya?" tanyanya.

"Udah gue coba cek di kontak telepon tapi nggak ketemu petunjuk apa-apa, cuma ada alamat email dari akun Google gue yang lama."

"Alamat email?" Icha mengulang.

"Iya, gue punya akun Google yang kotak masuknya nggak pernah gue buka, pas kemaren dapet nomor ini akhirnya gue sinkronisasi, eh malah ketemunya alamat email yang punya nomor telepon."

"Alamat emailnya apa?"

"Nih!" seruku sambil memperlihatkan layar ponselku.

Mata Icha seketika membulat setelah melihat layar ponselku. Aku yang melihatnya menjadi penasaran, Icha seperti mengetahui sesuatu yang tak aku ketahui.

"Lo tau ini alamat email siapa?" tanyaku begitu penasaran melihat reaksinya.

Icha menggeleng. "Enggak, gue nggak tau," jawabnya.

"Lo yakin?" tanyaku sekali lagi.

"Yakin," ungkapnya seraya tersenyum dengan mantap.

Aku tak lagi bertanya setelahnya, lalu memasukkan ponselku lagi ke dalam tas. Namun dari sudut mataku, aku bisa melihat Icha memainkan buku-buku jarinya, tiga tahun mengenal Icha aku jadi tahu kebiasaannya saat sedang cemas atau memikirkan sesuatu. Cara dia memainkan buku-buku jarinya saat ini, menandakan kalau ada sesuatu yang mengusik pikirannya.

28 Hari Mencari Cinta [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang