Hari Ke - 14

296 65 9
                                    

"Gue yang naruh bunganya di sekretariat dan suruh siapa pun orang yang baca pesan untuk naruh di lokernya Mima."

"Kak Ditya?" Aku terpaku sesaat melihat siapa yang baru masuk ke dalam ruangan.

Aku rasa tidak hanya aku, yang saat ini terpaku tetapi juga Dira, Icha, Jenita dan Lucky. Karena selama beberapa saat ruangan menjadi lebih tenang setelah sebelumnya kami saling melempar pertanyaan.

"Maaf jadi bikin heboh." Kak Ditya menggaruk-garuk pelipisnya sebelum melanjutkan, "Gue suka sama Mima tapi gue nggak berani bilang langsung. Cemen yah gue?"

Apa? Gimana?

Aku melirik ke kanan dan kiriku. Dari sudut mataku, aku bisa melihat teman-temanku saling menarik lengan baju satu sama lain. Mengeluarkan suara cicitan dan pekikan tertahan karena tak tahan dengan kegemasan di depan mata mereka.

"Mim." Kak Ditya menarik sebuah kursi dan duduk di depanku.

Aku yang tak tahu harus berkata apa, hanya diam menatapnya dan menunggu sampai dia mau berkata. Kak Ditya menundukkan wajahnya, seperti tak berani menatapku padahal sebelumnya dia bisa dengan tegas mengakui kalau dia pengirim bunga sebenarnya. 

"Aku..."

"Sejak kapan?" tanyaku memotong.

Kak Ditya menghela napasnya perlahan lalu melanjutkan untuk menjawab pertanyaanku, "Satu tahun yang lalu, Mim. Tapi waktu itu aku nggak bisa ungkapin karena..." Kak Ditya diam sejenak dan berkata lagi, "aku rasa aku nggak perlu kasih tau alasannya."

"Aku nggak tau harus jawab apa, Kak," ungkapku.

"Kamu nggak perlu jawab apa-apa sekarang, yang penting aku udah ungkapin semua tanpa perlu khawatir apa pun lagi."

Khawatir? Apa yang kak Ditya khawatirkan sampai nggak bisa ungkapin perasaannya. Benakku ikut berbicara.

"Mim..." lirihnya. "Kamu harus tau kalau aku nggak akan bikin kamu nangis," janjinya.

"Ih...so sweet banget!" seru Dira dengan tiba-tiba mengubah atmosfer di ruangan ini yang semula tegang menjadi lebih santai seperti sebelumnya.

"Hih, Dira lo ganggu banget sih!" keluh Icha. "Padahal gue lagi menikmati ke-uwuan di depan mata gue sekarang ini."

"Tau nih Dira, banyak cincong," sambung Jenita. "Gue masih mau denger kak Ditya ngerayu si Mimin."

"Ih, gue kan gemes. Jarang-jarang liat kak Ditya soft gini." Dira menyahuti protes kesal Icha dan Jenita.

Aku menatap ke arah kak Ditya yang saat ini wajahnya tertunduk, dia sama sekali tak berani menatapku. Aku melihat dia bahkan memainkan kuku-kuku jarinya, seperti biasa yang dia lakukan ketika gugup. Ya, mengenal laki-laki ini bertahun-tahun aku jadi tahu kebiasaannya, minuman dingin favoritnya, makanan kesukaannya, apa yang sering dia pesan di kantin hingga tokoh kartun anime favoritnya. Kalau dipikir-pikir sepertinya aku yang begitu menyukai kak Ditya sampai aku hapal itu semua.

Jika aku ingin, bisa saja saat ini aku katakan pada kak Ditya kalau aku juga memiliki perasaan yang sama dengan dia, tapi aku belum bisa.

"Guys...boleh minta tolong?" tanyaku ke teman-temanku. "Tolong tinggalin ruangan ini, ada yang mau gue omongin berdua aja sama kak Ditya."

Ketiga temanku dan Lucky mengangguk paham, mereka dengan segera memenuhi permintaanku untuk segera meninggalkan ruangan kelas itu, meninggalkanku dan kak Ditya di dalam sana.

Setelah pintu ditutup oleh mereka aku mulai berkata...

"Kak, terima kasih. Aku nggak pernah nyangka kalau kak Ditya bisa punya perasaan ke aku setelah selama ini aku kira, hanya aku yang punya perasaan itu."

"Mim..."

"Sebentar Kak, aku belum selesai," selaku.

Kak Ditya mengangguk menurut.

"Semua orang tau kalau aku juga punya afeksi yang sama ke Kakak, tapi aku belum bisa. Bukan karena aku nggak ingin, tapi..."

"Nggak apa-apa, Mim. Kamu nggak perlu balas perasaan aku sekarang, tapi rasain aja gimana rasanya disayang sama aku."

"Kak, jangan gitu."

Kak Ditya menggeleng. "Nggak apa-apa, aku sama sekali nggak pernah berharap perasaan ini berbalik kok, aku udah tau. Karena dulu juga sama, tapi aku kira sekarang sedikit lebih berubah, ternyata nggak jauh beda," gumamnya.

"Dulu, nggak jauh beda? Maksudnya apa?"

"Nggak usah dipikirin, Mima."

Bagaimana bisa tidak dipikirkan, kata-kata kak Ditya baru saja membuat pertanyaan di dalam kepala ini. Apa maksudnya dengan dahulu juga sama? Kak Ditya kan belum pernah bilang dia suka dengan aku selain hari ini?

Kenapa banyak sekali hal yang membuatku bingung belakangan ini?

"Kamu cukup tau kalau aku tulus, aku juga nggak akan mengharapkan apa-apa dari kamu, bahkan meminta kamu membalas perasaan ini aku sungkan. Aku cuma mau lihat kamu bahagia, bagiku itu cukup."

"Kak..."

Aku tak melanjutkan kalimatku, tapi tiba-tiba aku merasakan Deja vu, seperti perasaan bahwa momen ini pernah terjadi sebelumnya...

Di masa lampau.

🐧🐧🐧

"Kenapa ditolak?"

Itu adalah pertanyaan pertama yang aku dengar setelah menceritakan kejadian siang tadi di dalam kelas kepada teman-teman kosanku. Aku tahu, mereka mungkin kecewa setelah kubilang kalau aku belum bisa membalas perasaan kak Ditya padahal mereka tahu kalau aku naksir berat cowok itu sejak dulu. Namun saat ini rasanya berbeda, seperti ada orang lain yang mengisi kekosongan hati ini, tetapi bukan kak Ditya orangnya.

Aku menatap mata mereka satu-persatu sembari memperlihatkan isi surat terbaru yang kuterima dari dalam loker.

"Jangan bilang..." Dira mencoba menyuarakan isi kepalanya.

"Lo suka sama orang yang nulis tulisan ini?" terka Adel.

"Mungkin," jawabku. "Karena pelan-pelan dia mulai menunjukkan siapa dirinya."

Tatapan mata beragam terpancar dari masing-masing sepasang mata di ruang televisi lantai dua kos-kosan kami. Aku bisa melihat tatapan tak senang dari sebagian mereka, tapi ada juga yang mengukir senyum meskipun hanya sekilas, seperti Adel dan Jenita. Seakan-akan mereka menyetujui kalau hanya dengan sebuah tulisan manis, seseorang bisa saja jatuh hati.

_______

Bintang,

Malam tak pernah merindukan matahari karena ada bulan yang selalu menemani,
Tetapi jika seandainya bulan tak setia dan meninggalkan malam,
Akan kulukis bintang untuk menemani malam.
Sebagaimana akan kulukis kamu dalam ingatanku
Untuk menemaniku.


Aku pengagum rahasiamu,

Ps. Aku baru saja menempati kosan baru di Jalan Kepodang.

.bersambung.

28 Hari Mencari Cinta [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang