Hari Ke - 4

411 69 29
                                    

Untuk kamu yang sedang membaca tulisan ini, atau sudah saatnya aku menggunakan namamu?

Jasmine, betul kan?

Pasti kamu bertanya siapa aku dan bagaimana aku tau di mana lokermu berada untuk menaruh surat ini?

Mari kita bermain teka-teki!

Singkatnya, sudah pasti aku adalah salah satu mahasiswa fakultas ini, dan mengenalmu. Tapi siapa aku? Suatu saat akan kuberi tau padamu, petunjuknya kita pernah satu mata kuliah Hukum Pidana karena aku harus mengulang saat itu.

Tapi suatu sore setelah letih mengabiskan penat mengerjakan soal-soal ujian, aku melihatmu berdiri di balkon salah satu lantai gedung fakultas.

Ada jingga yang membentuk siluet indahmu.

Dalam heningku menatap hari yang semakin menua, dan perlahan menggelap lalu dengan apik menggantinya dengan bintang, aku melihat dua bintang...

Di langit dan di depan mataku, yaitu kamu.

Aku, pengagum rahasiamu.

Pandangan mata kuberikan kepada tiga orang teman satu lantai kosanku plus Dira secara bergantian setelah mereka selesai membaca bait-bait kata dari tiga pucuk surat yang kuterima selama tiga hari terakhir.

"Yakin ini ditulis sama anak FH, bukan anak Sastra?" tanya Jenita setelah selesai membaca surat ketiga.

"Gila puitis banget!" seru Adel sambil mengunyah singkong goreng yang dibawa Dira ke lantai atas.

"Curiga seseorang nggak sih Kak?" tanya Riana kepadaku.

"Enggak, gue juga bingung belum ada petunjuk sama sekali selain dia spill sendiri kalau dia juga anak FH." Aku menjawab.

"Kemungkinan kakak tingkat sih kalau menurut gue, soalnya dia sendiri bilang di surat ketiga, kalau dia mengulang mata kuliah Hukum Pidana." Dira memberikan analisanya.

Analisa Dira sangat masuk akal apalagi aku masih ingat, saat itu ada kakak tingkat yang nengikuti perkuliahan dengan jadwal yang sama denganku.

"Ditya kali tuh!" sambung Icha yang baru keluar dari kamar mandi sambil menyampirkan handuk di pundaknya.

"Ini anak baru selesai mandi langsung nyamber, pasti nguping!" tuduh Jenita.

Icha hanya terkikik sambil menyambar singkong goreng yang hanya tersisa satu buah di piring.

"Kenapa kak Ditya, Kak?" tanya Riana.

"Emang 'dek Riana nggak tau, kalau kak Ditya lagi gencar ngedeketin Jasmine, buktinya dua hari yang lalu dianter pulang dong sampe depan pager kosan, uhuy!" terang Icha.

"Serius, Kak?" tanya Riana kepadaku.

"Nggak usah dengerin Icha, cuma ngegosip dia," jawabku. "Lagipula seingat gue, kak Ditya nggak ngulang mata kuliah itu."

"Oke, nama Ditya kita coret dari daftar," imbuh Dira. "Ada kandidat lain nggak?" tanyanya.

Aku mengangkat kedua bahuku menjawab pertanyaan Dira, karena tidak ingat siapa saja kakak tingkat yang mengulang saat itu. Hanya saja, yang kuingat saat itu ada sekitar belasan mungkin lebih kakak tingkat yang berada di kelas yang sama denganku.

"Terus gimana?" tanya Adel. "Mau kita cari siapa pengirimnya?"

Lima pasang mata menatapku saat ini menunggu keputusanku.

"Kalau kita cari tau, setimpal nggak?" tanyaku.

"Terserah lo, dari pada setiap malem lo nggak bisa tidur," tambah Jenita berkelakar.

"Gue siap jadi detektif nih," imbuh Adel.

Aku terkekeh melihat reaksi Adel. Di antara kami berenam, hanya Adel yang berbeda jurusan. Dia, bersama dengan dua teman kos ku yang lain—Nabila dan Marie, mengambil jurusan psikologi.

Bayangkan, bagaimana caranya Adel yang berbeda fakultas denganku mau membantu memecahkan siapa pengirim surat misterius ini?

Aku merasa takjub, betapa pertemanan kami yang semula berawal dari sesama penghuni kos ini memiliki kimah yang tak ternilai. Padahal menurutku ini hanya masalah sepele, tapi mereka dengan bersemangat ingin membantuku memecahkan teka-teki ini.

Aku menyayangi mereka.

🐧🐧🐧🐧

Hai Bintang,
Aldebaran kan nama panjang kamu?
Unik... nama bintang.

Waktu itu, kulihat kamu sedang menatap langit.
Aku sempat cemburu pada langit yang selalu kamu pandang.
Ada apa sih di sana?

Bukankah bintang yang paling terangnya ada di sini?

Pengagum Rahasiamu.

Pipi ini tertarik membentuk sebuah senyuman setelah membaca isi surat keempat. 

Aku menatap langit-langit kamar kosanku yang berukuran tiga kali empat meter sambil mendekap kertas usang dengan tulisan tangan itu.

Memejamkan mata, aku siap berlayar ke lautan mimpi, berharap bisa bertemu dengan sang penulis surat di dunia ilusi, meskipun mungkin nantinya hanya siluet wajah yang kulihat.

.bersambung.

28 Hari Mencari Cinta [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang