Hari Ke - 17

262 61 5
                                    

Suara pak Chandra bergema di dalam ruangan kelas yang berisi lima puluhan mahasiswa yang separuh lebihnya adalah perempuan. Dengan semangatnya, dosen muda favorit para mahasiswi saingan beratnya kak Hilman ini, menjelaskan tentang perestroika dan glasnost yang diperkenalkan oleh salah satu tokoh penting Uni Soviet, sekaligus pemenang Nobel perdamaian pada tahun 1990, yakni Mikhail Sergeyevich Gorbachev.

Aku, yang duduk di barisan tengah bersebelahan dengan Dira, Icha dan Jenita hanya bisa manggut-manggut mendengarkan penjelasannya karena sejujurnya mata kuliah Ilmu Politik bukanlah favoritku. Demi bisa melihat wajah rupawan pak Chandra kami rela menghabiskan waktu dua jam setiap minggu hanya untuk duduk manis di dalam kelasnya yang sejujurnya lebih sering membuat kami mengantuk karena subjek yang begitu membosankan. Untungnya, objek rupawan di hadapan kami saat ini sama sekali tak pernah sanggup membuat kami bosan.

Perkuliahan ditutup dengan Pak Chandra meminta kami membuat tulisan tentang dampak hubungan internasional terhadap perestroika yang dilakukan Uni Soviet pada masa itu, dikaitkan dengan perkembangan politik dunia yang terjadi di tahun 1990.

"Gila ya, kalau bukan karena gue ngefans sama ini dosen ogah gue ikutan kelas ini, asli otak gue nggak nyampe kayaknya setiap ngomongin politik," keluh Dira.

"Kan elo yang pas awal semester lima ngajakin kita semua masuk kelas pak Chandra," sanggah Icha.

"Iya sih," sahut Dira.

"Makanya jangan ngeluh!" omel Icha.

"Kak Icha galak. Min, gue diomelin sama kak Icha." Dira mengadu.

Aku yang masih membereskan barang-barangku hanya menoleh malas, menatap Dira sekilas lalu kembali memasukkan lagi buku dan alat tulis.

"Ini si Mimin diem aja dari tadi, sakit?" Dira kini menyentuh keningku.

Aku menggeleng.

"Palingan lagi galau mikirin mau terima kak Ditya apa enggak," ledek Jenita.

Aku menoleh ke arah gadis berkacamata itu, menatapnya dengan pandangan ketidaksetujuan yang membuat Jenita berkata, "Oh, salah ya?"

Aku mengangguk.

"Terus apa dong?" tanya Jenita masih penasaran.

Aku mengangkat kedua bahuku. Lalu terlintas lagi sebuah pertanyaan yang terus menerus mengganggu sejak kemarin.

"Ladies..." lirihku membuat atensi mereka bertiga tertuju hanya padaku. "Kemaren waktu gue ke sekretariat BEM FT, gue nggak sengaja denger percakapan kak Ditya, Haikal dan Dodit. Dari yang gue denger, kak Ditya seharusnya nyatain perasaan satu tahun lalu, tapi gagal karena ada dia," ungkapku sambil membuat petikan jari saat mengatakan kata dia.

Aku melanjutkan, "Pertanyaannya dia ini siapa? Kalian pernah tau nggak?"

Ketiga temanku itu saling pandang, dahi mereka semua berkerut entah karena pertanyaanku atau ada sesuatu yang mereka tahu tapi aku tidak ketahui. Raut wajah yang sama, juga pernah mereka tampakkan kala aku bertanya tentang seseorang bernama Jodi, membuatku semakin yakin kalau ada yang disembunyikan oleh mereka.

"Dia? Lo pikir kita cenayang, Min? Dia siapa?" tanya Dira mengulangi.

Meskipun Dira mencoba bercanda, tapi aku tahu dari nada suara yang dikeluarkan olehnya, saat ini dia sedang berhati-hati, hal serupa pernah dilakukannya ketika untuk pertama kali dia mendengar nama Jodi keluar dari bibirku.

"Min..." lirih Icha. "Apapun yang lo denger kemaren, mungkin aja bener. Tapi nggak ada satu pun dari kita yang berhak ngomong atau jelasin ke elo meskipun mungkin salah satu di antara kita ada yang tau."

28 Hari Mencari Cinta [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang