Hari Ke - 19

259 55 11
                                    

"Dia nggak dateng?" tanya Nabila kepadaku ketika kuceritakan kejadian kemarin.

Aku mengangguk.

"Yang datang malah kak Ditya?" Kali ini Adel yang bertanya. "Kok kak Ditya bisa tau lo di atas?"

"Gue yang kasih tau." Dira yang baru datang dari lantai bawah memotong pembicaraan seakan-akan dia mendengarkan percakapan kami sejak tadi.

Salah satu tangannya membawa piring yang berisi pisang goreng dengan asap yang masih mengepul, tanda baru diangkat dari penggorengan. Membuat kami yang melihatnya mau tak mau menelan saliva kami masing-masing karena tergiur makanan dengan warna cokelat keemasan itu.

"Kenapa lo kasih tau kak Ditya?" tanya Icha.

"Ya, gue khawatir, lah. Kalo si penulis suratnya berniat jahat gimana? Mana si Jasmine keras kepala banget nggak mau ditemenin," keluh Dira.

"Maaf, nggak bermaksud bikin lo khawatir, Dir," ungkapku. "Lagi pula, masih anak kampus kita kan, mau jahat apa sih?"

Nabila menggelengkan kepalanya. "Tapi aku setuju sama Dira, apalagi kalian mau ketemu di tempat sepi, mesti hati-hati, Min."

Aku mengangguk. "Lain kali aku pasti lebih hati-hati, makasih ya?"

"Omong-omong," potong Adel. "Gue menjalankan tugas detektif kemaren sama Nabila." Lalu Adel terkekeh.

"Detektif?" tanya Dira

"Nih!" Adel memperlihatkan kertas HVS dengan coretan tangan yang sebelumnya dibuat oleh Icha, lalu ditambahkan dengan coretan tangannya. "Kemaren gue sama Nabila ke kos-kosan di Jalan Kepodang, karena kebetulan ada anak kampus kita satu tim Focus Group Discussion sama Nabila yang ngekos di situ. Pas banget lagi, Nabila mau pinjem buku jadi sekalian aja, ya kan Nab?"

"Iya," sahut Nabila. "Sebenernya sih nggak urgent pinjem bukunya, tapi karena mau bantuin Adel jadi detektif-detektifan akhirnya dibela-belain ke sana," ungkap Nabila terkekeh.

"Terus kalian dapet info apa?" desak Dira.

"Sesuai info Jasmine setelah dapet nama-nama penghuni kos-kosan dari kak Tazky, kita juga tanya ke temennya Nabila, siapa saja penghuni kos-kosan yang dia kenal. Ada satu nama anak FH yang nggak disebut sama kak Tazky tapi sempet disebut sama temennya Nabila, nama ini pernah ngekos di sana cuma udah keluar sejak lama." Adel menjelaskan.

"Mungkin itu alasannya kak Tazky nggak sebut namanya, karena nggak kenal." Nabila menambahkan.

"Siapa namanya?" tanyaku.

"Auriga!" jawab Adel dan Nabila berbarengan.

"Auriga?" Dira mengulangi lalu melirik ke arahku. "Ada anak FH namanya Auriga, Min?"

Aku yang ditanya hanya bisa menatap Dira dengan pikiran yang melayang, seingatku tidak ada nama Auriga yang aku kenal berada di Fakultas Hukum.

Aku menggeleng.

"Seangkatan kak Ditya katanya, masa kalian nggak kenal? Cuma beda satu tahun lho." Adel menambahkan.

Aku menatap langit-langit ruang santai kos-kosan kami, mengulang-ngulang nama itu di dalam benak. Karena rasa-rasanya nama itu nggak asing.

"Auriga," gumamku. "Namanya bagus seperti nama salah satu rasi bintang."

Aku terkejut dengan gumamanku sendiri. Pantas saja namanya tak asing, pasti aku pernah dengar nama itu ketika ayahku menceritakan tentang gugusan bintang padaku dan kedua saudariku ketika kami kecil.

"Auriga," gumamku sekali lagi.

"Mungkin nggak sih kalau Auriga ini yang kasih surat buat Jasmine?" tanya Dira.

28 Hari Mencari Cinta [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang