20

1.9K 238 44
                                    

Tidak mudah memang berbaur dengan keluarga baru. Menjadi seorang istri, menantu, dan kakak ipar menuntut untuk pintar beradaptasi. Terlebih, ketika kita masuk ke dalam keluarga yang sama sekali belum kita kenal. Tapi, itulah tantangan. Mencintai satu lelaki, berarti sanggup mencintai keluarganya. Mengosongkan ruang dalam hati untuk diisi keluarga baru.

Meski jelas ada perbedaan, antara keluarga sendiri dengan keluarga dari suami. Tapi tak selayaknya kita memberi batasan, 'kan? Katanya, perempuan adalah milik suami. Suami adalah milik ibunya. Dan sebagai istri, harus mendukung suami untuk berbakti kepada orang tuanya.

Tidak sedikit memang hubungan antara menantu dan mertua yang tidak harmonis. Karena ego yang ada di salah satunya, atau bahkan keduanya. Karenanya, yang ditakutkan wanita ketika menikah adalah berhadapan dengan Ibu Mertua. Menyeramkan, kah?

Hal yang dianggap menyeramkan itu, justru ingin sekali dirasakan Risel. Ia yang dinikahi lelaki yang tidak seberuntung Alfath, memiliki keluarga yang lengkap. Tapi bukan masalah. Hidup memang sudah ada porsinya sendiri, 'kan? Jalani saja.

Dua hari menjadi anggota baru, belum menghilangkan kecanggungannya. Sekadar mengobrol hangat di ruang keluarga sambil menikmati kacang atom pun masih terasa aneh bagi Asyiha. Dia yang anak tunggal, harus memposisikan dirinya sebagai kakak. Kakak ipar lebih tepatnya. Nggak menutup kenyataan, kadang perlakuan Azzahra ataupun Atiyah terhadap Alfath membuat dirinya cemburu. Namun langsung ditepis, karena sadar rasa cemburu tak pantas hadir.

Satu yang ditakutkan. Adalah ketika suami yang menjadi tiangnya dalam keluarga ini, memilih keluarganya ketimbang istrinya. Menghela napas, menyemogakan hal-hal yang baik untuknya.

"Baba sama Ammah udah berangkat?" Asyiha terbangun dari lamunannya. "Oh, udah. Udah berangkat. Emang nggak tau?"

Alfath menggeleng, "Enggak."

Rumah sepi hari ini. Abid dan Risel kembali ke asrama. Berikut adik-adik Alfath, kecuali Azzam yang sudah kembali kuliah.

"Jadi?"

"Jadi apa, Kak?"

Alfath mendekat. Menggeser duduk Asyiha, dan duduk di sebelahnya. Menumpukan siku pada meja makan. "Kakakmu, ya?" Lirihnya tepat di telinga yang membuat Asyiha merinding.

"Kalau rumah sepi, berarti?" Makin mendekat, mengikis jarak di antara mereka berdua. Dua telapak kanan Asyiha bergerak cepat, menahan dada Alfath. "Eh, Kak belum sarapan, 'kan?"

Alfath menggeleng, tapi tak mengubah posisinya. "Sarapan kamu, boleh?"

Meledak. Rasanya Asyiha ingin meledak.

"Rumah sepi loh, Sayang."

Asyiha menggeleng, "Sarapan dulu, Kak."

Bibir Asyiha dibungkam oleh tangan Alfath. "Mas atau Kak?"

"..."

"Mas atau Abang?"

"Auchh!"

Asyiha terbebas. Alfath mundur sambil mengusap pinggangnya yang terkena cubitan Asyiha. "Makanya jangan bungkam mulut aku."

Alfath tersengih, "Masih bagus bungkamnya pake tangan, kalau pake yang lain gimana?"

"Nggak. Sekarang Kakak sarapan dulu."

Alfath menggeleng, "Kak atau Mas? Habi? Husband?"

Asyiha menahan tawa, "Om?"

"Dih, sukanya om-om!"

"Ya iya, Om Alfath." Alfath ikut tertawa. "Seriusan dulu, jangan panggil kak. Ammah aja panggil Baba pake Mas. Ibu panggil Ayah juga Mas, kan?"

Asyiha mengelak. "Kak atau Mas sama artinya. Kenapa musti Mas?"

Al-FathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang