7

1.8K 223 37
                                    

Kalau katanya pelangi akan muncul setelah hujan badai, apa artinya kebahagiaan akan muncul setelah patah hati?

Termenung. Sekarang Asyiha banyak termenung. Laur lagi-lagi menyalahkan, "Sudah gue bilang jangan berani-berani jatuh cinta sama orang cuma karena liat postingannya!"

Ingin rasanya Asyiha berteriak menyangkal ucapan Laura. Bahwa jatuh cinta tak bisa memilih!

Puluhan kali ia membuka akun instagram milik Alfath, jempolnya sudah di atas tulisan berhenti mengikuti, tapi ini masalah hati. Terlanjur jatuh, sampai lupa caranya berdiri lagi.

Alfath, satu-satunya akun tentara yang ia follow. Tentara sholeh, dia sering menyebutnya begitu.

Kalau Asyiha bimbang antara menyudahi atau tetap bertahan dengan semua kecewa diam-diam, beda dengan Fadila yang terus dicecar oleh Alfath. Malam sebelum terlelap, baru saja hendak menarik selimut, Alfath menelepon.

Fadila cukup tersentak. Tak pernah lelaki itu berkata penuh penekanan, sedikit membentak. Tidak pernah sama sekali. Tapi malam ini, perkara hubungannya dia mendapat satu kalimat dengan suara berat.

"Tolong, belajar istiqomah hijabmu."

Fadila sedih hati. Seolah-olah Alfath tak mau menjalin kasih dengan perempuan yang belum sempurna berhijab. Fadila bukan tak tahu, tapi ia masih belum bisa. Semua butuh waktu, kan? Tapi kenapa kesayangannya--Alfath tak memberinya waktu?

"Aku siap mundur, kalau nggak ada progres di kamu!"

Menyakitkan. Setelah Fadila berhasil mengikhlaskan dirinya tak diakui di publik, ia kini menelan pahit kalimat Alfath.

Bertahun-tahun cinta mereka selalu tumbuh, tapi malam ini Alfath benar-benar berada di titik gundah. Antara lanjut atau tidak.

"Kamu kenapa bilang gitu? Tolong, aku bakal lakuin dari hatiku sendiri nanti, bukan karena kamu."

Suara bergetar Fadila berhasil membuat Alfath menyesali ucapannya. Ia tak setega itu membuat nada suara Fadila seperti menahan tangis.

Fadila merasa dipermainkan. Ia merasa dipandang buruk karena hijab yang masih lepas pakai. Selama ini ia kira Alfath menerima apa adanya, nyatanya malah begini.

"Gimana bisa aku bawa kamu ke syurga, Dil? Kalau menutup auratmu saja belum bisa. Aku bukan suamimu saat ini, tapi apakah kamu yakin akan membantuku jadi suami yang baik nantinya?"

Fadila benar-benar seperti diremehkan. Ia meremas selimut bulu tebal bergambar keropi. Serum yang ia oles di wajahnya sudah rata tercampur dengan air mata.

Suara denting jam dinding di atas kepala ranjang menemani tangisnya.

"Jadi, menurut kamu," ia menjeda kalimatnya. Menjauhkan mulut dari ponsel, lalu menyentrup air bening dari hidungnya.

"Menurut kamu aku nggak bisa jadi istri yang baik? Di penglihatanmu, aku ini perempuan apa? Yang menjerat langkah kamu menuju suami yang baik?"

Helaan napas berat Alfat terdengar di telinga Fadila. Bersamaan dengan itu air matanya juga mengalir deras.

Dia pikir, Alfath benar-benar akan memperjuangkannya. Sampai rela menjalin hubungan diam-diam.

"Bukan gitu. Aku cinta kamu. Banget. Sangat. Aku nggak bisa bawa kamu ke pernikahan kalau kamu belum bisa tanggungjawab dengan auratmu sendiri. Aku nggak bisa membuat orang tuaku yakin kalau kamu masih begitu."

Kali ini Fadila tak menutupi tangisnya. Ia terisak, yang pasti terdengar oleh Alfath di seberang sana.

"Fadila? Kamu nangis? Maaf... Aku cuma menjelaskan gimana caranya agar kita bisa bersama selamanya."

Al-FathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang