29

1.4K 200 26
                                    


"Iya. InsyaAllah. Demi Ghazi."

Aku melirik anakku yang terpejam pulas. Setelahnya kulirik wajah Laura yang mulai berseri. Tampaknya ia tak pernah gagal memberiku wejangan. Kali ini, dia sangat bijak dan arif sekali.

Untuk segala sakit, kutepikan demi kebahagiaan Ghazi. Untuk segala kecewa yang pernah ada, biarlah menjadi pelajaran berharga untuk memulai hidup baru. Untuk semua luka  yang perih, biarlah menjadi kenangan lama.

Aku tahu, dia orang baik. Mungkin sangat menyakitkan, tapi apakah tidak ada kesempatan untuk memperbaiki apa yang pernah ia rusak?

Rasaku pun terlampau jauh dan dalam, bagaimana bisa dengan mudah aku melupakan?

Di luar sana, bukan hanya diriku yang memilih bertahan dan kembali menjamu lelaki yang pernah menyakiti. Di luar sana, ada banyak hati yang tetap bertahan meski terluka hanya untuk kebaikan bersama. Pasti banyak wanita yang bertahan di tengah hujan badai, demi menuju sebuah keberkahan.

Tapi kalau dipikir, apakah seperti ini dapat berkah? Terus-menerus merasakan sakit, dan mengabdi pada lelaki yang menyakiti kita?

Karena sejatinya menikah adalah mencari pahala, semua pengabdian seorang istri merupakan jalan untuk mengabdi kepada Tuhan. Tapi, bagaimana jika berada dalam pengabdian ini hanya membuahkan tangis?

Entahlah...

Sorot matanya yang redup, menggambarkan penyesalan yang sangat dalam. Aku yang masih mencintainya, mudah terpikat oleh rautnya. Empati kurasakan untuknya.

Sekilas teringat penghianatan itu, namun cepat berganti dengan empati.

Dengan izin Allah, kuterima kembali lelaki itu menjadi bagian dari hidupku. Segala perih yang pernah kurasa, semoga segera dipulihkan dengan kebahagiaan yang ia berikan. Aamiin.

Melewati satu malam penuh cinta, merapalkan kata cinta tak pernah usai. Air mata lalu jatuh, menandakan ia lemah kali ini.

Dengan tangis, aku meng-iyakan ucapannya. Untuk kembali merajut kehidupan bersama, meraih ridhoNya.

Bintang tak tampak malam ini, tapi di depanku, ada satu bintang yang tampan. Tersenyum masih dengan pipi yang basah terkena air mata. Manis sekali. Sampai kapanpun, aku tetap mabuk kepayang dengan senyumnya.

Cintaku. Sayangku. Kasihku. Suamiku. Imamku. Kukembalikan diri ini untukmu. Kukembalikan jiwa ini untuk mengabdi kepadamu.

Bukan mempermainkan kata pisah. Tapi nyatanya ini adalah keputusan setelah berpikir panjang.

Mungkin banyak yang menyalahkanku, terlalu cepat meminta diakhiri. Lalu akhirnya kembali meminta bersama.

Ghazi, semoga pilihan ini tidak pernah salah.

"Terima kasih."

Aku meringis, menahan sakit saat menyusui bayi lucu yang diberi nama Ghazi.

"Sakit," kataku kembali manja seperti dulu.

Dia tertawa. Rupanya bukan hanya aku yang merasa lama sekali tidak bercengkrama. Sejak aku hamil.

"Kenapa kamu mau balik lagi?"

Aku menggeleng, "Nggak tau."

"Siapa yang bujuk?"

"Karena Ghazi. Anak kamu yang bujuk aku."

Dia menghela napas. "Aku emang terlalu jahat buat kamu."

Terus, kalau kamu jahat, kamu akan terus jahat ke aku?

"Berarti kamu nggak mau aku sama Ghazi di sini?"

Dia melotot. "Allahu akbar, susah ngomong sama cewe. Suka salah menginterpretasikan."

Al-FathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang