26

1.4K 233 69
                                    

Gerimis menemani malam yang sunyi. Tambah sunyi, ketika aku seorang diri duduk menghadap jendela yang sudah tertutup. Memandang apa yang bisa dipandang, tapi otakku tetap berpusat pada nasib.

Bukan tentang seberapa lama bersama, kata 'setia' hanya bertandang pada mereka yang takut kehilangan.

Dia yang setia, dia yang paling takut mengkhianati. Barangkali, dia tahu perihnya sebuah pengkhianatan. Ya, sungguh perih.

Dia tak akan pergi, tetap membersamai dengan segala kurang dan lebih.

Dia yang tak setia, adalah dia yang tak pernah mengedepankan akal sehat. Dia yang dibutakan oleh kesenangan semu. Dia yang jiwanya dikendalikan oleh setan.

Aku memeluk diriku sendiri. Menguatkan apa yang bisa kupertahankan. Kalau bukan diriku, siapa lagi? Karena pada akhirnya yang menerima segala emosi ya cuma diri sendiri.

Meneliti segala kurang pada diriku. Banyak. Mungkin itulah sebabnya dia mencari kelebihan yang ada pada wanita lain. Sampai-sampai, ia lupa kelebihanku pun akan hilang jika ia terus sibuk mencari.

"Kok nggak jawab salam?"

Aku menoleh, satu sosok yang kucintai berjalan ke arahku. Kulirik jam dinding, pukul 11.50 WIB.

"Kenapa belum tidur?" Menghampiriku, mengecup keningku. Aku menggeleng. Tetap saja. Perlakuan manisnya selalu membuatku luluh, hingga akhirnya aku menyalahkan diri sendiri. Bagaimana bisa aku ingin pergi dari sosok yang begitu kucintai.

"Dede belum ngantuk, ya?" mengecup perutku penuh kasih.

Dia anaknya. Kelak, yang ia cari adalah ayahnya. Lantas bagaimana bisa aku tanpa sosok ini?

"Lapar?" Dia mengangguk. Aku segera bangkit, "Aku siapin ya."

Rasanya, aku tak pernah kurang dalam melayaninya sebagai suami. Tapi tetap saja, sebanyak apapun terasa kurang ketika lupa bersyukur.

Kutemani ia makan, melahap masakanku yang kumasak sambil menangis. Ya, menangis. Siapa yang tidak sakit melihat suaminya bersama wanita lain?

"Itu dimasak sambil nangis." Suapan terakhir, dia mendongak menatapku.

"Tadi sore aku tau kamu ketemu Tia." Dia tetap tenang. Menegak habis air putih di gelas, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi.

"Iya."

Hanya iya. Sakit rasanya, melihatnya bersikap seperti orang bodoh.

"Iya?"

Dia mengangguk, "Iya aku ketemu bentar."

Aku menahan air mata. Dia berbohong, aku sakit. Dia jujur begini, aku tambah sakit.

"Beneran nggak bisa mengakhiri?"

"Bisa. Tadi sore aku ketemu dia membicarakan hal itu."

"Lalu? "

Dia menghela napas. "Ini salahku, jangan salahkan siapapun. Yang memulai, juga aku. Biar aku akhiri dengan baik-baik."

Dia memang salah. Tak pernah ada perselingkuhan yang benar.

"Kapan?"

Dia menunduk. Terlihat wajah rasa bersalah. Tapi percuma. Dia terlalu baik. Baik untukku, baik untuk orang lain. Rasa segan menyakiti yang membuatnya terjebak. Tanpa sadar, aku lah yang paling dia sakiti.

"Iya, Mas nggak mau ada yang sakit hati."

Aku tertawa mengejek dengan air mata yang mulai menetes.

"Lah, aku udah sakit, Mas. Kamu nggak mau Tia sakit hati?"

Dia diam.

"Kalian itu salah. Tia juga salah, pantas dia disakiti karena kesalahannya sendiri."

Al-FathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang