12

2K 195 27
                                    

"Lo beneran nolak dia? Lo nggak lupa 'kan selama ini lo suka sama siapa?"

Bukan cuma sekali, berulang kali Laura mempertanyakannya. Ia cukup heran, Asyiha benar-benar menolak Alfath. Padahal dia tau, harapannya dulu adalah bertemu dengan Alfath dan berjodoh dengannya.

"Yakin. Seyakin-yakinnya, aku nggak bisa nerima dia. Kamu juga nggak lupa 'kan siapa Fadila?"

Laura mendesah pasrah. Amat disayangkan menurutnya, lelaki yang diharapkan datang mempersunting tapi malah ditolak. Jika dia berada di posisi Asyiha, mungkin akan tegas mengatakan 'ya'.

Asyiha gadis dengan pemikiran matang kendati usianya baru menginjak dua puluh dua. Pernikahan yang ia lihat di sekitar, membuatnya banyak belajar tentang konsekuensi dalama sebuah pernikahan. Ia tak ingin gegabah, ini perkara serius dan kramat.

Menikah muda--di usia yang belum genap dua puluh dua, membuatnya ragu. Meski menikah adalah sebuah kebaikan, tapi tak jarang bisa menjerumuskan. Setan mudah membisik pada jiwa muda yang masih labil, lalu akhirnya menyebut pernikahan adalah ruang kesengsaraan.

Meski mencoba masuk lewat jalur ta'aruf, yang kata orang sudah sesuai syariat. Ia tetap tak yakin. Terlebih, ada Fadila di tengah-tengah mereka.

Baginya, pernikahan hanya sekali seumur hidup. Karenanya harus benar-benar dalam memilih, tak asal menerima siapa yang datang.

Pemikirannya sama seperti Alfath. Menikah tak harus dengan lelaki yang ia cinta. Tak harus dengan Alfath. Menikah adalah ibadah terpanjang, kalau yang dicinta tak bisa mempermudah ibadah, maka lebih baik bersama lelaki lain. Ia yakin, siapapun orangnya nanti, jika menikah dengan satu visi dan misi, cinta akan mudah hadir.

Membangun cinta. Jika kelak ia ditakdirkan menikah dengan lelaki yang sama sekali tak ada di hatinya, ia harap mampu membangun cinta. Karena percuma jika jatuh cinta pada lelaki yang tak bisa membawanya ke sebuah mahligai rumah tangga yang diberkahi Allah.

Sama dengan pemikiran Alfath, bukan?

"Tapi lo nggak sakit hati, kan? Kalau suatu saat nanti dia nikah sama perempuan lain."

"Nope. InsyaAllah, kalau memang bukan jodohku, aku nggak nyesal. Seperti yang aku bilang, aku ingin menikah dengan lelaki yang benar-benar satu visi dan misi."

"Terus Alfath nggak satu visi?"

Sebenarnya iya. Resume Alfath ia baca teliti, membuatnya manggut-manggut menyetujui. Tapi, ia tetap yakin untuk menolak. Ada satu yang mengganjal, yaitu keberadaan Fadila.

"Kalo cuma karena Fadila, bukannya Alfath udah bilang ya kalau dia nggak ada apa-apa sama Fadila?"

"Ya, gitu. Tapi aku benaran nggak bisa, Ra. Mungkin memang belum jodoh."

Menuang fla di atas puding cokelat. Ditaruh di tempat kering, lalu dibiarkan sampai membeku. Pagi-pagi sudah berkutat di dapur, membuat puding cokelat yang akan diantar ke rumah teman Ibunya Laura.

"Kamu ngomongin aku terus, kamu emang udah siap nikah?"

Laura tersedak. Meletakkan gelas di lantai samping ia bersimpuh. Menikah? Tak ada kata siap dan benar-benar siap bagi Laura. Menurutnya, siap atau belumnya, akan diuji ketika sudah mempraktikkan. Jadi, ia mau menikah dan otomatis ia akan siap mengarungi duni pernikahan ketika sudah benar-benar menikah.

"Ilmu pernikahan itu bukan cuma teori, kita bisa belajar langsung, praktik langsung. Kalau cuma teori, nggak bisa dijadiin tolok ukur."

Bertepuk tangan, memberi apresiasi untuk sebuah pemikiran bagus milik Laura. "Waw, nggak nyangka Laura si gadis lebay ini punya pemikiran keren."

Al-FathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang