16

1.7K 209 41
                                    

"Untuk apa kamu menunggu ketidakpastian? Bahkan bisa saja yang kamu tunggu itu nggak ada niatan untuk berlabuh padamu."

~Asyiha


Langit membiru, memayungi kepala manusia yang rambutnya memerah. Angin menerpa, tapi tetap terasa gersang. Hujan yang dinanti pun tak datang juga, meski hanya sekadar mengucap 'hai' pada rerumputan.

Tidak apa. Hari ini adalah hari yang bersejarah bagi sekumpulan orang, cuaca yang panas malah semakin membakar semangat. Kepala cepak itu tertutup topi, berdiri tegap dengan mata memandang tajam ke depan. Betapa bahagianya mereka.

Berkebaya seragam, duduk sambil memandang manusia yang berbaris. Manusia yang telah usai ditempa, dan akan menuju hidup yang sesungguhnya.

Bergetar rasanya ketika nama Atthar disebut. Meski bukan jadi orang nomor satu, tetapi ini adalah sesuatu yang membanggakan. Membuat bibir risel merekah, dan berdegup ketika menatap wajah anaknya.

Mata tajam itu meredup, menubruk Sang Ibu. Menumpahkan tangis di pundak, setelah mengecup pipi kanan dan kiri.

Satu momen yang membuat air mata Abid mengalir. Memeluk putranya di tengah keramaian.

Dunia begitu cepat. Yang dipeluk sekarang ini adalah bocah ingusan yang dulu sering menangis karena berebut robot remot dengan Alfath. Sekarang, tubuhnya sudah menjulang. Ia sudah tumbuh dewasa.

"Selamat, Nak!" Satu tepukan keras di bahu Atthar.

Semua seperti permainan waktu. Rasanya baru kemarin menemani anak-anak main, selalu bertengkar saat berbeda pendapat. Sekarang, mereka sudah tumbuh dewasa.

Azzam sudah lewat masa SMAnya. Memilih menjadi ahli hukum, daripada abdi negara seperti ayah dan kakaknya. Tidak ada yang menyangka memang. Katanya, "Azzam mau hukum karena biar nggak ada yang menyalahgunakan hukum lagi!" Sore hari ketika ia memegang ponsel tertera pengumuman lolos seleksi perguruan tinggi.

Dan Arull yang katanya ingin jadi arsitek, berlabuh di AAL. Out of the box.  Tapi kadang rencana dengan realita itu memang beda.

"Azzam, yang rajin kuliahnya!" Azzam yang tampak tampan dibalut jaz hitam, mengangguk. "Selamat ya, Kak!"

Jepretan kali ini tidak lengkap. Arull sedang masa pendidikan catar, tak mungkin untuk menghadiri praspa Atthar. Sedangkan Alfath masih menjalankan tugas kemanusiaan di Lampung, mengevakuasi pasca gempa.

Azzahra pun tak ikut, jadwal ujian akhir sekolah membuatnya terpaksa tidak hadir di hari spesial Atthar. Maklum, dia sangat ambis. Di kelas 11 ini ia bersungguh-sungguh, agar masuk kedokteran UI katanya. Aamiinkan saja.

"Dek, jangan kebanyakan main hp!" bisik Atthar pada Atiyah yang sedang memegang ponsel. Atiyah langsung merengut. "Kamu udah SMP, udah gede harus bisa mikir!"

Atiyah langsung diam, memasukkan gawai pada tasnya.

"Mah, Ba, sebentar ya. Atthar mau ketemu teman dulu."

Belum dijawab, ia sudah lari. Menyusul satu perempuan berambut pendek yang ada di tengah lapangan, bercampur dengan perempuan lain.

"Ra!"

"Betrasia!"

Yang dipanggil menoleh, menyudahi sesi foto bersama kawan yang lain. "Eh, Atthar selamat ya!"

"Iya, kamu juga ya."

Atthar mendekat, meraih ponsel di tangan Betrasia. "Kita belum pernah foto berdua, ayo!"

Betrasia mati rasa. Terdiam seperti patung, tak berkedip menatap Atthar yang sedang memegang ponselnya. Momen langka.

"Ayo, mendekat."

Al-FathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang