21

2.7K 263 26
                                    


Tidak kusangka, menikah nggak enak. Tapi enak banget! Tau gitu, aku nikah dari dulu. Ah, tidak. Pernikahan musti persiapan matang. Sebab bagiku, menikah adalah ibadah terpanjang yang hanya kulakukan sekali dalam hidupku. Tentu saja bersamanya, istriku tercinta, Asyiha.

Tak salah pilih memang. Semua yang ada pada dirinya membuatku kepayang. Kasih dan sayangnya, terus memupuk rasa cinta yang ada pada diriku. Dia begitu baik. Pada keluargaku tentunya. Meski di awal dia susah beradaptasi, karena ketakutan yang ia ciptakan sendiri. Padahal, keluargaku itu hambel sekali.

Ayah dan Ibu juga menerimaku sebagai anak lelaki. Menjadi sosok yang akan melindungi keluarganya juga. Ayah, memberikan tanggungjawabnya kepadaku. Menjaga, melindungi, menuntun, membimbing, menyayangi, dan mencintai Asyiha sepanjang hidupku. Semua tentang Asyiha, adalah tanggungjawabku sekarang. Langkahnya nanti, aku lah yang menjadi nahkodanya.

Istriku anak tunggal. Anak kesayangan orang tuanya, anak satu-satunya yang menjadi kebanggaan keluarga. Sedari kecil dibesarkan dengan kasih sayang yang tak kurang. Hidupnya terpenuhi, tak pernah merasakan pedihnya kekurangan. Begitu kunikahi, dia rela meninggalkan kedua orang tuanya. Melepas semua fasilitas dari orang tua, dan mendedikasikan dirinya untuk melayaniku sebagai suami.

Kuyakin, ketika ia masih bersama orang tuanya, ia tak perlu repot-repot mengurusi segala kebutuhan rumah. Yang ia kerjakan sekadar membantu Ibu. Tapi sekarang, tangannya tak lembut lagi karena setiap sudut rumah ini ia sentuh.

Dengan ikrar pernikahan, aku menjanjikan pada diriku sendiri untuk melindunginya. Tak ada air mata pedih yang nantinya keluar dari mata indahnya. Apapun itu, kuusahakan kebutuhannya tercukupi bersamaku. Meski terkadang, dia yang menggadangkan untuk menghemat demi kebutuhan masa depan.

Sepulang dari giat bersama persit, aku mengamati wajahnya. Terlihat sekali ada letih di sana. Aku mendekat, memijat pundaknya. Dia malah menggeliat, lalu menyingkirkan tanganku dari pundaknya.

"Udah makan belum?" Dia mengangguk. Ada rasa bersalah ketika wajahnya lesu begini.

"Mas makan sama lauk tadi pagi ya?" Aku mengangguk.

Dia menghela napas, lalu menyenderkan badannya di punggung sofa.

"Kenapa? Capek ya? Mandi dulu sana, biar seger!"

Semakin kutatap lekat, air matanya meleleh. Apa aku salah?

"Loh? Kok nangis?"

Semakin kutanya, dia malah semakin sesegukkan. Kurengkuh badannya, kubawa dalam pelukan. Katanya, wanita yang sedang menangis hanya butuh pelukan untuk tenang. Aku tidak tau pasti, hanya mendengar beberapa temanku bercerita demikian.

Kuusap punggungnya, memberi ketenangan untuknya. Perlahan, tangisnya mulai reda setelah pecah begitu deras sampai kaosku basah.

"Kenapa? Coba cerita," tawarku ketika ia melerai pelukan. Mengusap air mata yang masih tersisa di sudut mata, lalu mengerjap menatapku.

"Ada apa tadi? Ada masalah?" tanyaku lagi. Kuusap air mata yang meleleh kembali, lalu kukecup kelopak mata yang menutup itu.

"Capek," lirihnya.

"Aku susah adaptasi. Mereka sosialita banget, aku yang kentang ini ngerasa susah menyesuaikan."

Ingin kutertawa ketika ia menyamakan dirinya dengan kentang. Oh, tetu beda, Sayang! Kentang makanan dan kamu manusia. Kentang tak berwajah, sedangkan wajahmu begitu ayu.

"Ada teman yang sesama anggota baru, 'kan?"

"Ada."

"Yaudah, nggak papa. Aku juga nggak seberapa suka kalau kamu terlalu ngikut gaya orang."

Al-FathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang