18

2.2K 258 83
                                    


Akhirnya, permata yang kudambakan akan segera kurengkuh. Tak habis puas aku memintanya di setiap usai shalatku, akhirnya Allah menghendaki dirinya untuk memilihku. Setelah sekian lama bertarung dengan diri sendiri, akhirnya pemenangnya adalah untaian doa panjang milikku.

Tidak habis pikir, dia begitu takut pada Ammah. Padahal, bagiku Ammah adalah perempuan paling baik di bumi ini. Aku yakin seratus persen, Ammah akan jadi Ibu mertua yang baik.

Meyakinkan hatinya tidak mudah, butuh kuasa Allah untuk membuatnya yakin padaku. Ah, ini bukan perjalanan singkat. Ini perjalanan panjang nan berliku.

Ah, iya. Fadila. Beribu maaf kuucap untuknya. Apakah aku salah di sini? Bukankah hubungan kami sudah berakhir sejak lama? Lantas aku memilih Asyiha sebagai tempatku berlabuh.

Satu hari sebelum malam Asyiha menjawab, aku bertemu Fadila. Sedikit cemas terpancar dari wajahnya. Seperti bertemu sahabat lama, kami saling sapa. Lebih dari itu, kami menyempatkan untuk menikmati puding susu di foodcourt dekat butiknya.

Ternyata luka cepat kering di hatinya. Bahkan, jauh sebelum aku melamar Asyiha, dia telah menemukan pundak untuk bersandar. Lega sekali rasanya, tidak membuat luka di hati wanita lain.

Lupakan tentang Fadila. Iya, Laura. Wanita yang diingankan Ammah. Karena itu pula Asyiha meragukanku. Padahal, siapapun tak ada yang bisa menggantikannya. Ah, terima kasih Laura.

Selepas ini, tanggungjawabku bertambah. Tidak cukup sebagai anak, kakak, prajurit, tapi juga sebagai suami. Setelah kalimat akad, segala tentang dia adalah tanggungjawabku. Tangis dan tawanya, aku yang mengontrolnya.

Selepas akad nanti, aku lah yang akan menjadi lelaki pelindungnya setelah ayahnya. Aku yang harus berperan adil sebagai anak lelaki dan sosok suami untuknya. Menjadi penengah kesalahpahaman yang semoga saja tidak akan pernah terjadi.

"Bagaimana, tenang?"

Baba mencekal tanganku sebelum masuk ke dalam rumah dinasku. Aku menghela napas lega. Malam ini, menjadi saksi penetapan tanggal. Malam ini, berhasil ku khitbah perempuan ayu rupa dan akhlaknya untuk menjadi makmumku.

"Alhamdulillah, Ba."

Baba tersenyum. Semoga ini menjadi alasannya untuk bahagia. Melepas anak lelakinya untuk membangun mahligai rumah tangga. Ternyata begini rasanya. Bahagia dan sedikit tegang. Ah, bercanda.

"Inget, Kak. Kamu punya Ammah dan dua adik perempuan. Satu tetes air mata luka dari istrimu nanti, akan berimbas ke adik perempuanmu," ucap Baba sambil menyenderkan punggung di sofa.

Benar kata Baba. Semua perih yang dirasakan istriku nanti, akan berimbas pada wanita yang kusayangi--adik-adikku. "InsyaAllah, doakan kakak jadi imam yang baik."

"Dinginmu itu dikurangi, Kak! Kaku banget kalau sama cewek." Ammah melemparkan handuk padaku, "Mandi!"

Aku hanya tersenyum, berubah menjadi tawa ketika Baba berkata, "Dia itu anakku, dingin di luar hangat di dalam. Liat aja nanti istrinya kelepek-klepek haha."

"Alah, Mas Abid juga nggak romantis!"

Sungguh, mereka adalah pasangan yang kuimpikan. Terlepas seperti apa masalalunya, terpenting saat ini mereka saling mengasihi.

***

"Ammah, emang fitting baju sama siapa? Kalau bisa, Ammah temenin Asyiha."

Suara Ammah di ujung sana terdengar jelas di telingaku, "Kalau sama Ammah, nunggu sabtu atau minggu ya. Tempatnya dimana, Kak?"

"Terserah. Kakak cuma bayar."

"Depok, gimana?"

Aku sedikit heran, "Kenapa Depok? Nggak di Tangerang aja dekat Asyiha."

Al-FathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang