17

1.9K 236 56
                                    


"Jadi, gimana?" Ayah menyentuh bahuku, membuatku sedikit terlonjak.

Tanpa persiapan, tanpa aba-aba, aku sudah dihadapkan dengan sebuah pilihan. Ya atau tidak. Sederhana memang, tapi terasa sulit bagiku.

"Asyiha?" Ibu sepertinya sudah gemas denganku yang daritadi masih membisu. Bukan, Bu. Bukan. Aku sedang bingung saat ini.

"Ehm, boleh minta waktu?"

Ayah berdeham. "Oke, Pak Abid. Mohon maaf, mungkin anak saya belum bisa menentukan pilihan karena acara ini dadakan sekali. Boleh, kah?"

Aku bisa melihat Om Abid tersenyum segaris. Entahlah, apa yang ada di dalam pikirannya.

"Iya, saya memaklumi. Salah kami juga tidak mengabari terlebih dahulu."

"Berapa lama, Nak Asyiha?" Suara yang kutakuti. Padahal, dulu suaranya terdengar lembut sekali di telingaku. Tapi sejak pilihannya yang jatuh pada Laura, membuatku dihantui rasa takutku sendiri.

"Tiga hari, bisa?"

Semua mengangguk. Aku langsung tersadar. Astaga! Tiga hari tidak lama.

Istikharahku belum terjawab. Masih bingung, apakah aku harus menjawab ya untuk hidup di keluarga mereka?

"Silakan dicicipi, kami nggak menyiapkan apa-apa," kata Ibu. Tidak menyiapkan apa-apa, katanya. Padahal kenyataannya di meja sudah penuh kue kering buatannya. Tapi memang benar, itu tidak disiapkan khusus untuk menyambut keluarga Alfath. Ibu memang senang menyetok kue kering.

"Iya, ini enak nastarnya."

Aku tersanjung. Melihat Tante Risel yang melahap satu butir nastar dan mengatakan enak.

"Oh iya, itu nastar made in Asyiha, lho!"

Aduh, Ibu. Tolong. Kalau begini aku bisa jadi kepiting rebus!

Tante Risel melirikku, lalu tersenyum. "Wah, enak. Suka buat kue kering ya?"

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Entah apa yang hilang, aku merasa ada sekat di antara aku dan Tante Risel. Berbeda dengan pertama kali bertemu dulu.

"Ini mungkin bukan acara formal, ya. Kalau sudah ada jawaban, insyaAllah kita akan datang sekalian bawa seserahan."

Aduh, merinding sekali mendengarnya. Ah ya Allah, kenapa hatiku penuh kebimbangan saat ini?

Tidak ku sangka, Alfath benar-benar nekat datang kemari. Padahal tentang penawaran itu tak kuperjelas lagi. Tanpa kode, tiba-tiba dia membawa kedua orang tuanya setelah seminggu yang lalu bertemu di panti. Gila, dia benar-benar gila.

Beranjak sore, mereka pamit. Sesaat sebelum Alfath keluar dari rumah, ia menatapku sekilas lalu membuang muka. Entahlah, perasaan itu sepertinya masih ada dalam diriku. Buman sekadar kagum belaka, tapi lebih dari itu.

Aku baru merasakannya saat ini. Keinginan untuk hidup bersamanya. Tapi, yang kutakuti adalah hidup dalam keluarganya. Apakah aku terlalu penakut?

"Bingung, ya?" Ibu mengagetkanku. Duduk di sebelahku, menatap layar televisi yang tidak menyala.

"Kalau bingung, istikharah."

"Nggak muncul, Bu."

"Jawabannya nggak hanya dari mimpi, Nak. Kita tunggu aja, ya. Tiga hari ini ada keyakinan dalam diri kamu atau enggak. Memangnya, kamu ragu di bagian mananya? Nggak suka sama Alfath? Tadi kan udah dijelaskan latar belakangnya, nggak cocok? Udah dibaca 'kan cv-nya?"

Sudah. Bahkan, cv taaruf yang lalu juga sudah hapal sepertinya. Tapi bukan itu yang membuatku bingung. Ada satu hal yang mengganjal dalam diriku.

"Bu, Asyiha sebenarnya takut."

Al-FathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang