6

1.7K 180 16
                                    

Entah pakai resep apa, salad buah yang katanya dibumbui tulus dan ikhlas itu terngiang oleh Risel. Setiap kecapnya selalu terbayang, sungguh nikmat. Bermodalkan ngancam, akhirnya dia diberi alamat penjual salad buah penuh cinta itu.

Kalau saja Risel nggak mengancam akan memutus komunikasi selama satu bulan dengan Alfath, mana mungkin lelaki yang sudah cukup sekali saja beli salad itu mau memberi tahu. Ia memang tak ada niat untuk memesan lagi. Bahkan, nomornya saja tak bernama. Untung saja riwayat panggilan membantunya menemukan nomor Asyiha.

Alfath berdecak kesal, menggerutukkan gigi atas dan bawahnya ketika Risel ngotot mau ke Depok demi salad buah. Harusnya waktu yang digunakan ke Depok, bisa dimanfaatkan untuk melepas rindu.

Menikmati suasana kota, sambil memutar lagu lama berjudul kemesraan. Azzah dan Atiyah menggelengkan kepala seirama dengan alunan musik. Sedang mulut Abid mengikuti, jari telunjuknya ikut mengetuk setir.

Satu panggilan masuk dari nomor tak dikenal, ternyata rejeki datang menghampiri. Asyiha yang sedang beringsut malas-malasan di kasur langsung bergerak cepat. Menyiapkan tiga box sedang dan tak lupa satu box berisi es batu. Si Laura alih-alih membantu, dia malah ngelayap belum pulang.

Dengan muka paling natural, bahkan terkesan buluk. Tanpa polesan bedak, ah muka bantal banyak orang menyebutnya begitu. Asyiha nggak seberapa peduli, yang penting pelanggannya puas dengan salad buahnya yang nikmat dan tak perlu lama menunggu.

Deru mobil terdengar, dia segera memakai kerudung. Gamis batik rumahan se lutut ia dobeli dengan abaya yang menutup mata kaki. Diderek gorden ruang depan, ternyata mobil berisi empat orang itu sudah menepi.

Pertama kali dilihat adalah Abid. Rambut cepak dan badan tegap khas tentara itu membuatnya mengingat dengan seseorang. Tapi ia tak menggubris, langsung keluar menyambut pembeli jauh dari Semarang itu.

"Assalamualaikum," Risel mengucap salam, menyalami Asyiha dan menyentuh bahunya, "Ini ownernya, ya? MasyaAllah, masih muda."

Dilanjut dengan Azzah dan Atiyah, mengecup punggung tangan Asyiha. Bukan tempel kening, pipi, apalagi dagu. Ia benar-benar mencium, pakai ujung hidung. Itu yang diajarkan oleh Abid agar mencium tangan dengan benar.

"Sudah saya siapkan, Bu. Mau langsung diambil?"

Abid berdiri, Asyiha meliriknya tak enak hati, "Ehm, Pak--silakan duduk." Abid mengangguk, lalu memindahkan badannya duduk di bangku kayu yang ada di teras.

"Sudah siap? Padahal mau liat pas nuang sausnya," sesal Risel. Ia memang senang melihat sebuah proses. "Yaudah kalau gitu, berapa semuanya?"

Asyiha masuk ke dalam, tak lupa mempersilahkan untuk ikut masuk. Azzah terheran-heran melihat sederet mika kosong di atas meka kabinet. Belum lagi di lantai, bejibun.

"Mbak, ini pesanan semua?" Asyiha menoleh, "Iya, alhamdulillah." Azzah ikut tersenyum, senang melihat usaha orang lain dapat hasil banyak.

"Saya tuh tau salad ini dari anak saya," celoteh Risel sambil memerhatikan Asyiha yang sedang memasukkan tiga mika salad. "Ini ada notenya nggak? Hehehe, saya suka bacanya."

Asyiha tersenyum dalam tunduk nya. "Hehe, nggak kelamaan, Bu?"

Risel menggeleng. Ia melirik satu baskom besar saus putih. Itu lezat. "Nggak usah, mau dimakan sendiri dan buru-buru juga. Nih," Tangannya mengaduk isi tas jinjing. Dicari secarik kertas warna biru bertinta hitam. "Masih saya simpan."

Asyiha berdiri dari jongkoknya. Menyatukan kedua telapak tangannya, lalu digesek. Gerakannya berhenti ketika menangkap kertas yang dimaksud Risel. Napasnya tercekat. "Ibu... Yang--ulang tahun?"

Al-FathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang