31

2.5K 225 65
                                    


Selamat membaca lanjutan cerita sepasang yang sudah menjadi keping. Apapun yang menjadi ujung, itu adalah keputusan terbaik.

.

Tidak bersamanya memang sakit, tapi bersamanya, jauh lebih sakit.

Setelah selesai mengurus segalanya, akhirnya jalan pisah yang terpilih. Betapa pedihnya, melihat satu keluarga menghujam Alfath. Ya, menghujam dengan kata dan tatap yang mematikan.

Maaf dan terima kasih. Kalimat yang diucap Baba berulang kali selagi aku dan Ghazi belum pergi.

"Ini bukan salah Baba," kataku dengan tangis pada Baba.

Baba yang gagah tegap itu menangis. Ada pilu yang dipancarkan dari sorot matanya. Sungguh, aku tidak tega melihatnya.

Sementara Azzam berani menampar kakaknya, Alfath.

Kasian. Tidak tega.

Tapi ini tidak seberapa dari apa yang dilakukan oleh Alfath.

Dengan hati yang mencoba untuk kuat, aku berpamitan dengan semuanya. Mengatakan selamat tinggal, semoga bisa bertemu lagi.

Tentu saja.

Anakku, adalah bagian dari mereka. Kapanpun, mereka berhak menemui Ghazi.

Aku tau itu akan terasa berat bagiku. Bertemu dengan mereka, sama saja mengingatkanku dengan Alfath dan segala belati yang menusukku.

Tapi inilah pilihan.

Berdosa sekali jika aku memisahkan Ghazi dari keluarga Papanya.

Perempuan itu ibarat kaca. Mudah retak, dan tidak akan sempurna lagi meski telah diperbaiki. Sedih sekali rasanya. Ternyata garis hidupku adalah menjadi seorang janda karena diselingkuhi.

Terlepas sakit hati yang diberikan oleh Alfath, aku tetap tak menyimpan dendam padanya ataupun pada wanita pilihannya. Perceraian ini, tidak merugikan dia. Perselingkuhan itu, tidak akan pernah terdengar oleh siapa pun. Biarlah aku yang merasakan sakitnya. Pekerjaannya tidak boleh hilang, sebab dia tetap menjadi lelaki yang kelak menafkahi keluarga barunya.

Lama sekali proses itu. Sampai pada senin pagi, bertemu dengannya sebelum resmi bercerai.

"Makasih, ya. Maaf untuk semua luka."

Aku tersenyum masam, tidak menjawab.

"Aku sama Fadila benaran cuma temenan."

Aku menghela napas, "Bukan urusanku lagi."

Baba menyerahkan Ghazi kepadaku. "Baba anter, ya?" tawarnya. Aku menolak. "Ada Laura, Ba. Sama dia aja. Pamit ya, Ba. Jaga kesehatan. Assalamu'alaikum kakek."

"Waalaikumsalam. Baba doakan semoga kamu dan Ghazi bahagia."

"Aamiin."

Ghazi menangis kencang. Tangannya menunjuk Alfath. "Pa... Pa ..."

Alfath mendekat, meraih Ghazi dari gendonganku. "Sebentar," katanya.

Alfath mendekap Ghazi dalam gendongannya. Membisikkan kalimat yang tak mampu kudengar. Hatiku tersayat, perih. Dua lelaki itu akan tinggal berpisah. Kasih sayang orang tua tak akan didapat lengkap oleh Ghazi.

Berat sekali rasanya. Melihat Ghazi yang masih balita, harus tinggal terpisah dengan bapaknya.

Tapi apa daya? Lagi dan lagi ini adalah sebuah pilihan.

Kalau pun kami memilih tetap bersama, tidak menutup kemungkinan Ghazi akan menerima sakit juga, kan?

Perselingkuhan memang penyakit yang menjijikkan. Benar kata orang, satu kali ditoleransi, maka episode berikutnya akan ada lagi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 30, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Al-FathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang