14

1.9K 234 71
                                    

Jika kisah aku dan kamu seperti Adam dan Hawa, maka yakinlah suatu saat kita akan dipertemukan sekalipun telah terpisah lama.

~Asyiha.

Bagaimana jika aku dan kamu adalah Kapten Pierre dengan Rukmini? Aku akan mati, sampai tak bisa melanjutkan hidup di dunia bersamamu.

~Alfath

Semesta punya cara sendiri untuk menemani manusia. Melalui hujan, ia temani pikiran manusia yang sedang sepi. Melalui semilir angin, ia temani alunan musik yang terputar di telinga kanan dan kiri. Setiap gerak semesta, memberi petunjuk untuk Sang Manusia. Menjelma menjadi obat, untuk hati yang sempat terluka.

Menjamah ubin masjid, menyugar rambut bagian depan yang basah terkena wudhu. Setelahnya menurunkan lengan kemeja biru elektrik yang tergulung sampai siku. Berdiri di belakang imam, menata hati dan memfokuskan untuk menghadap Sang Tuhan.

Ketika takbir menggema, bergetar hati hamba yang sedang bershaf. Mengarahkan niat untuk satu Yang Agung, menggugurkan kewajiban yang bonusnya adalah ketenangan. Sekali lagi, ini kebutuhan setiap hamba untuk melepas semua pelik.

Tertunduk, menengadah, memelas pada Sang Pemberi. Mengeja kalimat lembut, diiringi alunan dzikir dari mulut lelaki tua bersorban yang duduk di sebelahnya.

Pernah pelik, tapi sepertinya ragu yang ini lebih dari sekedar gundah. Ketika hati tak pernah bermasalah dengan wanita, kali ini ia harus menginjak problem cinta. Urusan Fadilla tak pernah sampai membuatnya sepelik ini. Sungguh, ini lebih dari resah biasa.

Kata orang, cinta mampu menghadirkan bahagia. Seperti Sang Bapak yang bahagia dengan Sang Ibu. Tapi ia tak boleh lupa, sebelum sampai pada puncak bahagia, keduanya pernah tersandung bahkan terperosok dalam lara.

Dipikir, ini hanya sekadar ambisi untuk mendapatkan hati perempuan. Ternyata lebih dari itu. Ia baru menyadari semalam, saat gerimis turun. Ditemani musik klasik, dengan segelas susu cokelat. Kala itu ia enggan menyesap kopi, takut air keruh itu membuatnya terjaga sampai pagi.

Bahkan, aktivitas yang seharusnya mampu menjadi pelipur pun tak berarti apa-apa. Sekarang satu wanita asing yang benar-benar melekat dalam pikirannya. Asyiha.

Jangan katakan dia berkhianat pada Fadilla, sebab hubungannya pun tak jelas adanya.

"Ya Allah, pertemukan hamba dengan Asyiha." lirihnya sebelum mengarahkan telapak tangan ke wajah untuk meng-Aamiin-kan.

Bukan sekedar hari, kini sudah bulan yang berganti. Seperti takdir yang terlepas, ia dan Asyiha tak pernah bertemu. Jauh. Meski berada di negeri yang sama, tak pernah terasa dekat.

Dengan hati yang masih resah, keluar masjid mendahulukan kaki kiri. Duduk di ujung teras, mengikat sepatu hitamnya. Diperhatikan sekeliling, mencari satu sosok yang ia butuhkan. Mustahil memang, di Rest area Brebes mana mungkin ada Asyiha.

Tiga hari diberi cuti, tak banyak, tapi cukup untuk melepas rindu dengan orang tua tercinta. Menikmati udara Semarang lagi, dan tentunya yang paling dibutuhkan adalah mengunyah makanan hasil tangan Sang Ammah.

Sepi. Sebelum menginjak rem tangan, ia tengok kursi navigator. Kosong.

"Siapa yang ngisi nanti ya?"

Al-FathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang