22

1.6K 235 52
                                    

Hilang. Benar-benar sudah hilang dan tak akan pernah kembali. Mungkin, sesekali datang lewat mimpi sebab kerinduan yang menggunung hampir meledak. Ayah, Ibu, pergi meninggalkan anaknya. Meninggalkanku sendiri. Ya, sendiri. Terlahir menjadi anak tunggal tidak semenyenangkan kata orang. Sepi sekali rasanya.

Enam puluh hari berlalu sangat lambat bagiku. Tiap detiknya bayang ibu tersenyum padaku. Petuah ayah terngiang di kepalaku. Semuanya. Kenangan itu tidak pernah mati sampai kapan pun.

Benar-benar hancur rasanya. Separuh diriku hampir hilang, seluruh semangatku hampir punah. Lelaki itu. Ya, lelaki yang berjanji akan menjadi sosok yang selalu melindungi. Ia tak pernah berhenti menguatkanku. Mengatakan bahwa duniaku masih panjang. Banyak harap ayah dan ibu yang musti kupenuhi.

Dua bulan waktu terburukku. Senyum segaris pun jarang kuberikan untuk orang yang kutemui. Bahkan, Ammah sampai menawarkan Mas Alfath untuk membawaku ke psikiater. Ya Allah, aku tidak separah itu. Buktinya, sekarang ini seluruh semangatku sudah pulih. Aku hanya butuh waktu untuk menetralkan rasa sepiku.

Kembali memperbaiki keadaan, menjadwalkan diri untuk berbakti kepada suami. Menata ulang apa-apa yang terlewati selama ini.

"Masak apa?" Aku terkejut. Mas Alfath datang tanpa salam, langsung menempelkan dagunya di pundakku.

Tak perlu kujawab, ia sudah mendapatkan jawaban ketika matanya melihat ikan yang tengah kulumuri bumbu kuning.

"Mau ngajak makan di luar," katanya sambil mempererat pelukan di perutku membuatku menggeliat geli.

"Kan aku sudah masak, ngapain makan di luar? Mubazir!"

Dia mengangkat kepalanya, berpindah tempat berdiri di sebelahku. "Ya nggak papa makan ikan itu, tapi makannya di luar."

"Loh? Makan di luar bawa makan sendiri dari rumah? Mending makan di rumah!"

Dia tertawa, "Maksudnya kita dinner ala-ala pacaran gitu di halaman belakang. Nanti Mas yang siapin tempat, Asyiha yang siapin makanan enak."

Ada-ada saja!

"Mau mandi dulu, mau ikut nggak?" Langsung kegetok kepalanya dengan centong nasi yang baru saja kupegang. "Enak aja!"

Setelah siap semua, aku mengintip Mas Alfath di halaman belakang. Sungguh, dia sangat telaten. Menggelar karpet yang dikelilingi lilin, di letakkan bantal dan guling di atas karpet. Seperti mau kemah saja.

Ia menoleh, mendapatiku yang sedang memerhatikannya. Ia meringis, lalu kakinya melangkah untuk mengambil wudhu.

Anugerah terindah adalah menikah dengan lelaki yang sangat luar biasa. Ia tak pernah melepaskan tanggung jawabnya. Untukku dan untuk orang tua dan adiknya. Satu hal yang kusuka darinya, ia pintar memposisikan dirinya sebagai suami, sebagai anak dari orang tuanya, dan sebagai kakak dari adik-adiknya.

Dulu, yang kutakutkan dari sebuah pernikahan adalah sikap suamiku yang tak bisa berlaku adil. Aku sangat takut masuk ke dalam keluarga baru. Menjadi menantu pertama di keluarganya, apalagi sebelumnya bukan aku yang diinginkan oleh ammah.

"Ayo," katanya masuk kamar dengan wajah basah sehabis wudhu. Aku mengangguk, lalu segera berdiri menjadi makmumnya.

Bergetar sekali rasanya. Malam ini, malam pertama aku tak meratapi kepergian ayah dan ibu. Hari ini, hari pertama aku bisa menjalankan aktivitas tanpa bayang-bayang ayah dan ibu. Ya Allah, izinkan aku untuk bahagia sampai ajal menjemput bersama mereka yang kusayangi.

Setelah memanjatkan doa panjang, Mas Alfath buru-buru ke halaman belakang. Ia membiarkanku yang sedang berhias di depan meja rias. Kutatap wajahku, wajah yang kemarin sendu. Tak pernah kupedulikan wajah ini, hanya sibuk memikirkan tasa terpuruk. Kali ini, akan kuperbaiki semuanya.

Al-FathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang