30

1.3K 224 39
                                    

Menjadi akhir dari semuanya. Juga menjadi awal bagi sekeping harapan baru. Selamat membaca, wahai pembaca yang budiman. Selamat meresapi kisah pasutri ini.

.

Anakku, permata, aset berharga, tampan sekali dia. Matanya bening, menatapku dengan penuh ketergantungan. Setahun. Setahun usianya. Selama itu, ia menerima kasih yang tak kurang dari keluarganya, terutama orang tuanya.

Ini yang kuharapkan, anakku tumbuh dengan kasih sayang. Dididik dengan penuh kasih, nyaman, damai, dan selalu bahagia. Kelak, dia akan menjadi pribadi yang lembut karena terlahir di keluarga yang tenang.

Satu tahun tidak selalu baik-baik saja. Percikkan api rumah tangga kadang melengkapi. Sebatas debat seharian dengan Mas Alfath. Rasanya, semakin lama bersama, semakin sering berdebat meskipun kecil.

"Ghazi mana, Yuk?"

Dia cantik sekali sekarang. Azzah. Mirip sekali dengan Ammah Risel. Tumbuh menjadi gadis dewasa yang anggun sekali. Siapapun yang meminangnya nanti, semoga ia bertanggungjawab.

"Di depan, sama Baba."

Hari raya tahun ini di Semarang. Menemani Baba yang katanya sangat merindukan cucunya. Ah, Ghazi adalah cucu yang beruntung.

Ramai sekali. Semua berkesempatan pulang, termasuk Arull yang sudah lama tidak bersua dengan kami semua. Bocah itu sudah gagah sekali sekarang.

Seramai apapun saat ini, rasanya tetap kurang karena tidak ada ammah di sini. Semoga dilapangkan tempatnya. Aamiin.

"Yuk, lagi sibuk? Atiyah minta tolong buat potongin ketupat."

"Boleh."

Ramadhan dan hari raya, selalu membawa perasaan aneh. Mengingatkanku pada ramadhan tiga tahun lalu. Bersama Ayah dan Ibu.

Huft.

Setelah kehilangan, baru kurasakan bahwa kenangan adalah harta yang paling mahal. Tidak bisa dibeli dengan apapun.

Kubantu Atiyah memotong ketupat. Menyiapkan dalam wadah untuk esok pagi. Tradisi ketupat dan opor, yang tak akan pernah lekang di keluarga ini. Syahdu sekali rasanya. Duduk dengan canda renyah di satu meja, berbagi kasih dengan senyuman ikhlas. Keluarga cemara, aku menyebutnya.

Tak lama, baba datang membawa Ghazi yang menangis. Susu.

"Bobo aja Ghazi ini udah malem," perintah Baba. Aku mengangguk.

Baba adalah lelaki setia. Sepeninggalan ammah, tak pernah terlintas niat untuk beristri lagi. Kendati anaknya yang banyak, tapi ia mampu menjaga dan mengasihi.

Ditemani gema takbir, aku menemani Ghazi tidur. Mengusap kepalanya, membisikkan kalimat cinta.

Semoga ia tumbuh menjadi manusia baik. Menjadi lelaki yang paham menjadi lelaki. Aamiin.

Lelaki yang kucintai membuka pintu, menyalakan lampu dan memperlihatkan senyumnya yang manis itu. Meleleh.

"Udah tidur?" Sambil menunjuk Ghazi.

"Udah."

Dia mendekat, merebahkan punggung di sebelahku.

"Cape?"

"Cape kenapa, engga kok."

"Kalau mau tidur matiin lampunya ya, Pa!" lanjutku. Dia menggeleng.

"Aku minta maaf."

Aku menepuk pundaknya, "Lebarannya besok, Mas. Besok aja ya." Jelas aku tertawa.

"Aku banyak salah sama kamu, sama Ghazi, sama Baba, sama adik-adikku."

Al-FathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang