5

1.9K 217 30
                                    

"Dulu hati dipamainkan kini hati mampamainkan ... Lamo denai mancari jawek lah batamu hilang pulo... Nan denai rusuahkan sarupo simalakamo... Manyasa batamu namun sakik kehilangan..."

Senandung lagu Maulang Sayang, lagu minang kesukaan Asyiha. Sambil menyusun potongan buah ke dalam wadah ukuran besar. Ia tak sembarangan menaruh potongan buah, baginya harus proporsional dan cantik meski akhirnya tertutupi oleh sausnya. Sama seperti diri, hati harus selalu baik meski tak nampak.

Pesanan yang ditujukan untuk kejutan dari seorang anak pada Ibunya. Asyiha tak main-main, ia menggarap dengan penuh kehati-hatian. Anggap saja ia ikut menyumbangkan rasa terima kasih untuk Ibu dari pelanggannya. Semua Ibu di dunia ini hebat, ia percaya itu.

Ia siram dengan saus yogurt penuh kehati-hatian. Semua tertutup manis, lalu dibumbuhi potongan Strawberry dan melon berbentuk bulan sabit sesuai permintaan. Ia penasaran apa makna bulan sabit itu.

Ia menyobek secarik kertas warna biru dari buku catatan puisinya. Dengan mulut senyum merekah, ia menggores pena di atas kertas bersih itu.

'Bulan yang menerangi malam, kalah terang dengan kasihmu. Surya yang menerangi siang, kalah cahayanya dengan cintamu. Alam semesta tak cukup untuk melukiskan tentangmu, Ibu. Buih di lautan apalagi, sangat tak mewakilkan perjuanganmu. Kau cicipi nikmatnya salad buah penuh cinta ini, rasakan cintaku untukmu dalam setiap potongnya.'

'BarakaAllah Fii Umriik. 47 tahun kau berjuang di Bumi, semoga kita bersama sampai Jannah-Nya.'

'Big love, Putramu.'

Asyiha tak bisa berhenti senyum. Ia membayangkan bahwa ia menulis untuk Ibunya sendiri. Memang Ibu adalah perempuan paling luar biasa di semesta ini. "Ibu, Syiha kangen."

Laura datang, mengintip tulisan di kertas kecil yang digenggam Asyiha. Ia mencebik, selalu saja senyum-senyum membaca tulisannya sendiri. "Itu buat customer yang mana?"

Asyiha terjingkat. Dia sedang hanyut dalam kalimat yang ia tulis sendiri, lalu suara Laura membuyarkan semuanya.

Dengan malas ia membalas, "Yang ngirim pesan ke kamu."

Laura mengambil kertas itu, lalu dibaca. "Wah, buat Ibunya ya? Pantas ukurannya jumbo banget."

"Kamu save nomor dia nggak? Penasaran fotonya, romantis juga sama Ibunya."

Asyiha menggeleng. Ia tak pernah menyimpan nomor customer, kecuali memang sudah langganan. "Kalau dia pesan lagi, gue save, Ra."

Asyiha menempelkan ucapan itu di tutup wadah salad. Ia ikatkan pita kecil warna biru, warna lembut kesukaannya. Biarlah, kali ini ia beri sesuai keinginannya. Semoga pelanggannya adalah bukan orang yang membenci warna biru.

Pesanannya sudah ready, Kak. Mau ketemu kapan? Saya bisa hari ini.

Selang dua menit, langsung mendapat balasan dari Sang Pembeli.

Siang ini gimana? Sekalian makan siang. Saya tunggu di sana, masuk ke AW."

Oke.

Asyiha hati-hati menyimpan saladnya di kulkas. Ia berat hati kalau sampai susunannya rusak. Ah, dia terlalu perfctionist.

Ia berangkat sebelum dzuhur. Ia tak mau konsumennya menunggu terlalu lama. Biar nanti dia izin duluan dengan alasan untuk shalat dzuhur.

Setelah membayar ke sopir taxi, ia turun dan langsung masuk ke dalam. Ia menemukan tempat makan yang menjual ayam goreng itu, lalu masuk. Ia sangat hati-hati membopong salad buah, tentu saja agar tak amburadul isinya. Di taxi tadi pun ia setia memangku, tak dibiarkan terguncang sedikit pun.

Al-FathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang