23

2.1K 245 33
                                    

Arunika. Terbit, bercahaya, menghidupkan yang semula gelap menjadi penuh sinar. Gumpalan darah di rahimnya benar-benar seperti arunika. Terbit dan membuat kami semua bangkit. Setelah kehilangan, ia datang untuk mengisi kekosongan. Ia hadir di waktu yang tepat. Menjadi pelipur lara untuk perempuan yang kucintai.

Tuhan selalu punya cara untuk menyembuhkan. Saat mencoba bangkit dari keterpurukan, Allah hadirkan janin yang menguatkan Sang Ibu. Malaikat kecil di dalam rahimnya menjadi amunisi untuk memulai hidup baru dan menuliskan kisah baru tanpa membuang kisah lama.

Rasanya bangga sekali. Aku yang manusia biasa ini akan menjadi bapak. Mampu kah aku? Tentu.

Bersama hadirnya calon bayi di rahimnya, kuikrarkan untuk terus menemaninya sampai maut menjemput. Terus mencintainya tanpa ganti, dan tak akan pernah menduakannya apapun kondisinya. InsyaAllah.

Di antara dua pilihan, ah, bukan. Sepertinya dua jawaban. Karena Asyiha dan Fadila sama-sama muncul dalam istikharahnya. Dua jawaban, bukan? Di antara dua jawaban itu, Asyiha yang menjadi tempatnya berlabuh. Dan Fadila, menjadi album lama di masa remaja.

Ah, dunia ini lucu sekali kalau dipikir. Katanya, dia pernah mengagumiku dari jauh tanpa kuketahui. Anehnya, saat aku mulai menginginkannya untuk menjadi bagian hidupku, dia malah menghindar dariku. Tapi akhirnya, aku lah pemenangnya. Dia takluk olehku. Hahaha.

Perempuan lemah lembut yang tentunya baik hati itu tak pernah membuatku marah. Setiap apa yang dilakukannya, selalu membuatku bersyukur memilikinya. Atas nama Allah, disaksikan alam semesta, aku akan menjaganya sampai kapanpun. Aku suaminya, yang akan berperan seperti ayah dan ibunya. Menyayanginya tanpa batas, mencintainya tanpa syarat, dan melindunginya tanpa sekat.

Buru-buru aku berdiri saat melihat perempuan ayu itu keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat. Kualihkan pandanganku pada perutnya yang membuncit kecil itu. Lalu senyum terulas di bibirku. Ah, di situ ada anakku.

"Pusing?" Dia menggeleng. Tiga bulan ia merasakan pusing, katanya. Sungguh, perjuangan seorang wanita. Melihatnya, aku jadi teringat ammah. Ia perempuan hebat yang berhasil membesarkan enam anak.

"Tapi pucat. Sini," Aku menghampirinya, mengajaknya untuk duduk di sofa.

"Hari ini pucat banget, apa yang kamu rasain?"

Memang. Hari ini tidak seperti kemarin.

"Jawab, Sayang. Kalau diem aja, Mas nggak tau jawabannya," kataku sedikit gemas dengannya yang diam saja. Gemas ingin mencium setiap inci wajahnya.

"Mau ketemu Ammah," lirihnya. Sejak hamil, ia sangat dekat dengan ammah. Apa-apa selalu ingin bersama ammah. Beruntung, ammah tidak pernah mengeluh ataupun marah.

"Iya, sih yang sekarang bestie sama Ammah." Dia mengulas senyum. "Ammah tadi nelpon, katanya akhir bulan ini nggak bisa ke sini."

Kenapa? Sibuk sekali kelihatannya.

"Kita aja yang ke sana, Mas."

"Eh? Kamu suka pusing kalo di perjalanan. Ke super market aja loyo, apalagi mau ke Semarang. Ammah kenapa nggak bisa?"

Dia menunduk lesu. Ah, mulai lagi. Mudah sekali menangis hanya karena hal sepele.  Kurengkuh tubuhnya, "Sini, Sayangnya Alfath nggak boleh nangis."

Ibu hamil. Di peluk, diusap kepalanya, bukannya tenang malah semakin tersedu.

"Anakmu ini," katanya. Aku meringis, Ibu hamil menggemaskan.

"Iya, ini jagoanku."

"Tapi yakin kuat? Nanti jagoanku ngamuk di dalem sana."

Al-FathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang