15

2K 221 43
                                    

"Kita tidak bisa mempermasalahkan sebuah hubungan, siapapun aku bagimu, pilihanmu tetap aku dukung."

~Asyiha


Ternyata serumit ini. Bukan tentang tiga hati, tapi sudah melibatkan banyak hati. Menikah adalah ibadah, tetapi untuk mencapai ibadah terpanjang itu musti seleksi panjang. Ah, pusing.

Alfath melepaskan anak panahnya, melesat tidak tepat sasaran. Mengerang kesal, lalu memutuskan untuk beristirahat di gazebo.

Adakah yang serumit dirinya?

Ah, ini memang dia sendiri yang menciptakan kerumitan ini. Salah siapa keras kepala menginginkan Asyiha padahal ada Fadilla!

Angin menerpa wajahnya, menampar pelan sama sekali tidak menenangkan. Udara yang harusnya sejuk, sore ini tidak. Angin bertabrakan membawa hawa gersang. Barangkali akan jumpa hujan nanti malam.

Ketika hatinya telah yakin pada satu perempuan, tetapi keadaan yang memaksanya untuk memikirkan kembali. Pertama kali dalam dua puluh lima tahunnya, Risel memintanya untuk melakukan sesuatu dengan sedikit paksaan. Sungguh, ini berat bagi Alfath.

Laura. Gadis yang notabenenya adalah sahabat Asyiha. Digadang-gadang oleh Risel sebagai calon menantu yang baik versi dirinya. Pujiannya pada Asyiha yang dulu pernah dilontarkan pun terlupa. Saat ini hanya pesona Laura yang terpancar.

Seminggu setelah percakapan di panti, tidak ada lagi komunikasi dengan Asyiha. Mereka sama-sama memilih bungkam, sebelum akhirnya Alfath memutuskan.

Alfath tak bisa membayangkan, bagaimana nantinya jika ia menikahi Laura. Apakah Asyiha akan baik-baik saja? Ah, Alfath terlalu percaya diri. Memangnya Asyiha benar-benar mencintainya? Bukankah dia pernah menolak sebelum memberi peluang untuk meminta pada Ayahnya.

Jauh sebelum Alfath menyatakan niat baik untuk menikahi Asyiha, gadis itu sudah lebih dulu meminta untuk dipertemukan dengan Alfath. Takdir Tuhan memang unik.

Semakin pusing, Alfath memilih untuk pulang. Melajukan sepeda motor dengan kecepatan sedang.

Di tengah perjalanan, ia teringat sesuatu. Sebelum pulang ke Semarang, ia diperintah untuk menemui Laura. Ah, sial!

Merogoh ponsel, lalu menekan satu nomor.

Nomor yang anda tuju tidak terdaftar...

Dia lupa. Asyiha sudah lama tak bisa dihubungi. Memukul keningnya, ia mengumpat betapa bodohnya tidak meminta nomornya lagi ketika itu.

"Ammah... Ammah... Kenapa harus minta hal yang sulit? Aihhh!"

Kembali melajukan motornya, tetap mencoba fokus meski pikirannya sedikit kalut.

Ia menggerutu pelan, ada Aldo yang tiba-tiba duduk di teras rumahnya. Demi apapun, ia sedang malas bertemu dengan lelaki tengil itu.

Membuka pintu tanpa menghiraukan keberadaan Aldo, membuat lelaki pemilik hotel bintang lima itu tercengang. Sejenak ia merasa harga dirinya diinjak oleh Alfath, lalu sadar kalau karibnya ini sedang banyak beban sepertinya.

"Ngapa Lo?"

Alfath tak menjawab, langsung masuk tanpa mempersilahkan Aldo. Ia langsung masuk ke kamar mandi, mengguyur kepalanya yang terasa penuh.

Bukan Aldo namanya jika tak menjengkelkan. Alfath yang sedang runyam itu tambah runyam melihat Aldo duduk santai di depan televisi menikmati kacang telor tanpa permisi.

Ah, mau jadi ikan aja!

"Ngapa, Bor? Lu kalau lagi ada masalah cerita ama gua aja!"

Cerita pada Aldo bukan solusi terbaik tampaknya. Alfath menggeleng, langsung menutup pintu kamar. Ia duduk di atas ranjang, mengetuk dagu dengan ujung telunjuk. Sumpah! Ia bingung saat ini.

Al-FathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang