13

2.2K 214 66
                                    

Azzam, namanya. Sebenarnya malas dipanggil Azzam, karena akan mengingatkan pada masa lalu Ibunya. Cuma diceritakan, kalau dulu Sang Ibu pernah bersahabat dengan lelaki bernama Azzam.

Dia terlalu cinta Semarang, sampai nggak mau keluar dari kota Semarang. Beda dengan Atthar dan Arull yang memilih sekolah di luar Semarang. Bukan apa, Azzam termasuk lelaki yang bucin. Kalau teman-temannya menyebut dengan 'Sad Boy.'

Hampir sama dengan Alfath yang tetap mencintai Fadila. Azzam mencintai satu wanita, yang menemani sejak kecil. Namanya Sani--adik perempuan Akbar yang dulu pernah digadang sebagai bayi lucu.

Perbedaan umur tak membuatnya mundur. Satu tahun lebih tua Sani memang, tapi mereka satu angkatan. Itu karena Sani sempat berhenti, saat dulu--ketika dia TK, Ayahnya dimutasi ke Kalimantan sebelum pindah Ke Semarang lagi.

Kisah Azzam dan Sani membenarkan satu teori. Bahwa persahabat antara lelaki dan perempuan tak ada yang murni, kecuali ada rasa di salah satunya. Dan ya... Azzam yang memiliki rasa lebih itu, sementara Sani tak paham apa-apa.

Dari kecil sudah tumbuh bersama, di mana Sani melanjutkan pendidikan pasti Azzam mengekori. Tapi sayang, di ujung SMA ini ia tak mendapat kelas yang sama dengan Sani. Hanya bersebelahan, tapi tetap berat bagi Azzam yang sudah terbiasa melihat Sani setiap waktu.

Sani Eka Pratiwi, perempuan anggun dengan bibir tipis yang manis ketika dilengkungkan. Terlahir sebagai anak dari prajurit berpangkat Mayor, juga adik dari Letnan Dua Marinir. Akbar, melanjutkan karir di Angkatan Laut, berkelana sampai tak pernah pulang.

Bukan karena rupa Azzam mengagumi Sani, tapi karena nyaman. Selalu bersama dalam kondisi apapun, membuatnya nyaman di sisi Sani. Ia selalu berjanji pada diri sendiri akan melindungi Sani sampai kapanpun. Tak pernah sekalipun ia membuat Sani menangis, malah selalu menjadi prajurit terdepan untuk Sani.

Sani tak seperti gadis lain yang sibuk mengurus diri bagaimanapun caranya agar glow up. Sani terlalu abai, lebih nyaman dengan segala natural dirinya. Jika yang lain selalu jajan di salon atau spa akhir pekan, Sani tidak. Ia lebih memilih belanja di toko buku bersama Azzam.

Abid maupun Risel sudah memaklumi persahabatan anaknya dengan Sani. Hanya Sani, teman perempuan yang boleh main ke rumah Azzam.

"Zam, kayaknya kita enggak boleh terlalu dekat."

Masih ingat kalimat Sani pulang sekolah, setelah lelah mengerjakan lima puluh soal uji coba.

"Kita udah puber, kata Mamaku enggak boleh terlalu dekat sama cowok."

Kala itu, Azzam ingin membantah tapi tak punya argumen yang kuat.

"Kita masih sahabat, kok. Tapi jangan sentuh-sentuh ya. Pokoknya cuma boleh jalan bareng jarak satu meter."

Dan yang membuat Azzam terpana adalah, "Zam, doain aku ya. Aku selama ini doain Kak Atthar biar jadi jodohku. Boleh kan, Zam?"

Azzam tak kalah tampan dari kakaknya, tapi tetap saja tak bisa membuat Sani meliriknya. Atau mungkin Azzam hanya sebatas teman? Yang tak bisa berubah status menjadi sepasang kekasih.

"Ya, nggak masalah. Kalau kamu nikah sama Kak Atthar, jadi kakak iparku dong hehehe."

Mulut bisa berbohong, tapi mata tidak. Berkaca-kaca. Merasakan sakit hati yang tak bisa diluapkan. Hanya bibir senyum, seolah mendukung rasa sahabatnya.

Sejak itu, ia benar-benar takut. Takut jika kenyataannya Sani akan bersama Kakaknya. Ia tak sanggup, Sani hidup bersamanya tapi sebagai kakak ipar.

"Sani ada, Om?"

Pagi-pagi, hasil rapat semalam. Sani memutuskan untuk mengajak Azzam ke gramedia. Dengan senang hati, Azzam langsung menuruti. Meski ada perdebatan--menentukan jam terbang.

Al-FathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang