25

1.4K 217 36
                                    

Empat bulan terakhir tak lagi kurasakan tentram di dalam ruangan ini. Tiap hari yang kurasa hanya sepi. Senyuman tipis di pagi hari. Ya, hanya ini yang tersisa. Kadang, malah tak ada sama sekali.

Aku sangat merasakan perubahan ini. Sangat drastis. Dulu kubayangkan akan sangat indah, tapi tak sampai akhir sudah kuterima perih banyak sekali. Namanya juga hidup. Selalu datang apa yang tak pernah kita duga.

Setiap sempat, kuutarakan apa yang kurasakan. Membaik. Tapi esoknya, suasana kembali hening. Kadang menyeramkan, menikamku dengan keheningan yang menyakitkan.

"Maaf, aku cuma lelah."

Kumaklumi apa yang menjadi alasannya. Sebab akhir-akhir ini hari libur pun ia gunakan untuk lembur.

Obrolan sebelum tidur tak lagi ada. Bagaimana bisa? Alfath selalu pulang ketika aku sudah lelap dalam tidur. Maklum, kerja.

"Sarapan dulu, Mas?" Dia terlihat buru-buru sekali.

"Mas?"

Tanpa menatapku ia menjawab, "Di kantor."

Tidak hanya sekali dia meninggalkan sarapan bersamaku. Hampir setiap hari. Dan yang kurasakan hanya perih. Menangis dalam diam.

Perubahan itu sangat terasa. Kuakui aku bodoh. Tak menyadari sebab dari perubahan ini.

Tapi katanya suatu malam, "Aku cuma takut kehilangan kamu."

Dan kutemukan tatapan penuh cinta di sana. Lalu semua lukaku sembuh, marahku hilang. Dia benar-benar sumber energi positif untukku. Semakin hari aku semakin mencintainya, bagaimanapun sikapnya.

"Aku bisa temani USG, tapi langsung pulang ya."

Yah.

Nggak ada lagi waktu berdua. Nggak pernah lagi jalan-jalan berdua, keluar seperlunya saja. Bahkan, belanja pun jarang sekali ia menemaniku.

Sampai suatu pagi sebelum ia berangkat ke kantor, aku menemukan satu pesan di ponselnya. Kubuka tanpa pamit, karena bukankah tak seharusnya ada rahasia di antara suami istri?

Ruangan seperti menghimpitku, membakarku dengan rasa cemburu.

[ Jangan lupa pakai jam tangan dari aku, Bang. Kutunggu di rumah, Cinta. ]

Allah.

Kucoba untuk berpikir positif. Barangkali salah sambung atau salah kirim.

Tapi ternyata tidak. Semua histori percakapan memang sudah dihapus, tapi log panggilan belum terhapus.

Tia

Suara pintu kamar mandi terbuka, aku menatap sosok yang keluar dari sana. Benarkah dia mendua?

Matanya beralih menatap ponsel di genggamanku. Buru-buru ia rebut dariku. "Ngapain?"

Aku menggeleng, menghela napas mencari kekuatan.

"Siapa Tia, Mas?" Dia semakin terkejut. Tak menjawab, ia langsung memakai sepatunya yang belum selesai ku semir.

"Mas?"

"Teman." Santai sekali ia menjawab.

"Kamu mau apa ke rumahnya? Teman wanita jenis apa yang sering kamu telepon?"

"Ya teman, dia teman lama ku."

Aku nggak habis pikir. Air mataku menetes. Dia sungguh tenang, seperti tak bersalah. Bahkan, untuk mengusap air mataku pun tak bisa.

"Kamu selingkuh, Mas?"

Dia berdiri, mendekat padaku. Mencoba merengkuhku, namun aku menolak.

"Sayang, kamu ngomong apa? Tia itu temanku."

Al-FathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang