24

1.4K 199 16
                                    

Lagu terputar tapi tak terdengar di telinga. Dan samar-samar kudengar suaranya. "Fokus, Mas." Begitulah katanya saat pikiranku keluar jauh dari jalanan yang hendak dilalui.

Kata orang, lelaki itu kuat dan hebat. Tapi nyatanya, aku tak seperti itu. Aku ingin istirahat dari pikiranku. Isi kepalaku melenceng tak jelas arahnya. Seperti tak ada driver yang mengontrol jalannya otakku.

Sebelum meninggalkan rumah yang sekarang penuh duka itu, aku melihat wajah adik-adikku. Siapa sangka mereka akan kehilangan sosok ibu. Bagaimana Azzahra dan Atiyah saat Baba dan semua kakaknya sibuk kerja? Mereka masih butuh ammah.

Atthar, Arull, Azzam, pasti sibuk dengan urusan masing-masing. Bahkan, mereka belum menemukan titik jayanya tapi ammah sudah meninggalkannya.

Berat lagi menjadi baba, dia lah yang paling kehilangan. Istri tercinta, teman hidup paling menyenangkan, dan katanya ammah adalah penawar lukanya. Tentu saja saat ini beliau sedang hancur, lebih hancur daripada diriku.

Aku terlalu takut dengan keadaan. Menyandang gelar anak pertama, membuatku tak bisa berpikir santai. Ada adik-adik yang menjadi tanggung jawabku. Semua urusannya, semua kebutuhannya, aku akan berupaya untuk memenuhinya.

Di sampingku, wanita duduk menyandar dan menoleh ke kiri. Dia tanggung jawabku, tapi setiap melihatnya aku menjadi takut. Aku takut tidak mampu memberikan kebahagiaan untuknya. Setelah kehilangan orang tuanya, dan melewati fase terpuruknya, aku janji akan membuatnya bahagia. Tapi takdir membalikkan fakta. Aku merasa gagal untuk membahagiakannya.

Di perutnya, tumbuh darah dagingku. Malaikat kecil yang dinanti. Tapi, saat terlahir nanti tak bisa didekap oleh neneknya. Saat lahir nanti, keluarganya tak utuh. Dan mungkin, bahagia itu juga tak utuh.

Ya. Aku selalu berprasangka buruk atas semuanya. Aku takut itu semua benar-benar terjadi.

Dia menoleh ke arahku, lalu berpaling. Sudah lama kutunggu suaranya, tapi dia tetap diam setelah memintaku untuk fokus mengemudi. Aku tau perasaannya, aku paham apa yang sedang dirasakannya. Tapi ini bukan kendaliku, rasa takut ini tiba-tiba muncul tanpa bisa dicegah.

"Asyiha?"

Dia menoleh dalam diam.

"Mau beli sesuatu?" Dia hanya menggeleng lemah. Wallahi, aku sungguh merasa bersalah.

"Maaf, ya."

"Untuk?"

Aku tetap fokus ke depan, "Kemarin."

"Iya aku tau kok."

"Tau apa?"

"Tau kalau kamu nggak butuh aku."

Aish! Mendadak ucapannya membuatku pusing. Aku tak ingin marah, tapi kenapa isi kepalaku ingin memberontak?

"Tolong kamu ngertiin aku, ya. Aku pusing, jangan buat pusingnya bertambah."

Tak peduli lagi ucapanku menyakiti atau tidak, nyatanya aku memang pusing.

Dia diam, memiringkan badannya ke kiri. Kulirik bahunya bergerak naik-turun. Ah, dia menangis. Sial. Kenapa semuanya membuatku pusing?

"Please, jangan nangis." Sengaja kuucap selembut mungkin agar tangisnya mereda. Tapi yang ada tangisnya semakin pecah sampai terisak.

Melihatnya menangis, ada sesuatu yang membisik pada telingaku. Ia membisik bahwa aku tak akan mampu menghentikan air mengalir di pipi istriku. Aku hanya memperpuruk kesedihannya. Aku tak akan bisa membahagiakannya.

Dia pilihanku. Wanita terakhir yang kupilih menjadi teman hidup, sampai surga inginku. Tapi, mengapa keadaan berubah secepat ini. Semakin menatapnya, semakin kacau otakku. Yang katanya cinta membuat kita tenang, nyatanya tidak. Aku tidak merasakan ketenangan itu. Yang kurasa adalah ketakutan yang sangat besar. Takut membuatnya menderita hidup bersamaku.

Al-FathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang