3

2K 202 9
                                    

Gaji pertama biasanya akan dibelanjakan untuk sesuatu yang mengesankan. Sama dengan Alfath, gaji perdana ia belanjakan untuk keluarga tercinta. Jangan lupakan satu hal, pasti ia memberikan bagian dari gajinya untuk kekasihnya. Kalung emas dua empat kamarat dengan bandul abjad A. Ia berikan pada Fadila, jumat sore setelah selesai kerja.

"Tutup mata, dong!"

Siapa yang tak bawa perasaan diperlakukan demikian? Fadila memejam, dengan bibir senyum.

Tangannya ditarik Alfath, lalu ditimpa oleh satu kotak beludru warna merah. "Buka, Fadila!"

Dila terbelalak. Kotak kecil yang sudah dibuka, berisi kalung emas. "Untukku?"

"Untuk kekasihku, perempuan yang aku cintai. Siapa lagi kalau bukan kamu?"

Tak ada adegan mengalungkan. Alfath tak pandai untuk itu, karena sore ini Fadila bertemu dengan mengenakan hijab. Alfath suka itu, tapi Fadila belum bisa menjanjikan untuk tak pernah lepas kain yang menutup kepala.

Sepulang dari bertemu Fadila di coffee shop, ia membereskan beberapa helai pakaian untuk ia bawa pulang.

Cijantung-Semarang, lewat jalur tol dengan kecepatan seorang Alfath mampu ditempuh dengan waktu lima jam. Malam sabtu, ia menerjang jalan dengan honda brio miliknya. Bukan, bukan miliknya. Itu pemberian Abid, untuk transportasi selama Alfath belum bisa beli mobil sendiri.

Ditemani alunan lagu-lagu milik Seventeen. Ah, mengingatkan pada kejadian yang merenggut bagian dari Seventeen. Betapa besarnya kuasa Allah saat itu.

Ia ngeri sendiri. Tak bisa membayangkan bagaimana ajalnya diambil saat ini juga dalam kondisi telinga yang hanyut mendengar lagu. Cepat-cepat tangannya memencet tombol pindah, sampai menemukan murottal. Ia mendengarkan, sesekali mengikuti sebisa yang ia hafal.

Sedikit licik memang. Untuk Fadila, ia mampu membelikan emas dua puluh empat karat dengan berat tiga gram. Sedang untuk Risel, ia membelikan mukena dengan label brand kerudung yang terkenal dari kota Bandung. Begitu juga untuk kedua adik perempuannya.

Untuk Azzam dan Amrul, ia belikan jersey klub bola. Persebaya untuk Azzam, dan Persib untuk Amrull. Jam tangan loreng, untuk Atthar yang jatuh cinta pada dunia militer. Sedang untuk Abid, ia belikan sepatu.

Ini adalah kepulangan pertama setelah diberi tugas. Mengetuk pintu pun dengan hati berdebar.

"Assalamu'alaikum,"

Semua sudah dirancang. Menyisihkan kepentingan lain untuk berkumpul di rumah, menyambut kedatangan Alfath tentunya.

"Wa'alaikumussalam, Kakak Ganteng!" Itu suara Atiyah, adik paling manja sedunia. Alfath merengkuh adiknya, "Mana yang lain?"

Kaki Alfath melangkah menuju tempat yang ditunjuk oleh adiknya. Halaman belakang. Tempat ternyaman untuk berkumpul. Kini tampilannya berbeda. Rumput jepang sengaja ditanam, agar bisa duduk lesehan di sana. Bangku rotan masih awet di tempatnya. Banyak tanaman hias di belakang, mengindahkan mata saat sedang bercengkerama.

Dilihatnya semua sudah duduk melingkar. Di tengah-tengah mereka, ada banyak makanan yang tersaji. Mereka langsung menoleh ke arah Alfath, membuatnya senyum canggung.

Risel berdiri, menghampiri Alfath dan menarik untuk segera gabung dalam lingkaran yang dibuat. "Selamat datang, Sayang," ucap Risel.

Semua memberi selamat atas gaji pertama yang telah diterima. Menyantap makanan tanpa gengsi. Semua habis, hanya tersisa air kobokan dan beberapa daun kemangi serta kol lalapan.

Sudah bisa ditebak bahwa yang memasak semuanya adalah Risel dan Azzahra. Siapa lagi yang pandai? Atiyah malah parno sekali dekat dengan kompor karena kejadian di masa kecil. Kala itu ia ingin terlihat sempurna, maka ia menunjukkan pada Risel bahwa ia pandai masak. Huh! Menggoreng cabai saja dia tak bisa. Letupan cabai membuat tangan kirinya luka akibat semburan mihyak. Sembur? Nggak papa. Lebih terlihat mengerikan.

Al-FathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang